Tradisi Lebaran Ketupat ala Indonesia

Tradisi Lebaran Ketupat ala Indonesia

- in Kebangsaan
5761
0

Kemarin, Kamis (23/7/2015) bertepatan dengan 7 Syawal 1436 H. Di tanggal 7 Syawal seperti hari ini, sejumlah masyarakat Indonesia dari berbagai daerah sedang merayakan tradisi yang mereka sebut ‘Lebaran Ketupat’. Lebaran Ketupat adalah prosesi ‘pesta’ kedua setelah seminggu sebelumnya merayakan pesta pertama berupa hari raya Idul Fitri.

Sama seperti kebanyakan tradisi budaya keagamaan Nusantara lainnya, Lebaran Ketupat tentu tak akan mudah dijumpai di belahan benua lain. Serupa dengan tradisi ini ada juga halal bi halal atau bermaaf-maafan. Soal halal bi halal, meski berasal dari bahasa Arab namun mereka yang terlahir dengan bahasa inipun tak paham apa arti dan maksudnya. Karena ini telah menjadi bagian kekhasan kaberagamaan di Nusantara.

Kembali ke Lebaran Ketupat, tradisi ini lahir dari kreasi dakwah para leluhur penyebar Islam di Nusantara. Lebaran Ketupat dilaksanakan tepat di hari kedelapan Syawal dan dilaksanakan usai melakukan ibadah puasa sunnah Syawal selama enam hari pada 2 – 7 Syawal. Dengan demikian, Lebaran Ketupat adalah ‘pesta kedua’ untuk merayakan keberhasilan melaksanakan sunnah Nabi.

Dalam nomenklatur Fikih puasa enam hari di bulan Syawal masuk dalam pembahasan hari-hari yang disunnahkan berpuasa, sama halnya dengan puasa Senin dan Kamis atau 10 Muharram. Di puasa Syawal tidak ada ketentuan melaksanakannya selama berturut-turut, yang penting masih berada di bulan Syawal. Namun, para ulama sepakat menyebut mengurutkan puasa enam hari setelah hari raya lebih utama karena terkandung muatan tabadur bil ‘ibadah (bercepat-cepat melaksanakan ibadah).

Di sinilah letak kekhasan Lebaran Ketupat ala Islam Nusantara. Tradisi ini menjadi motivasi umat Islam untuk sesegera mungkin melaksanakan ibadah. Para leluhur ulama di masa silam tak hanya mengajarkan tentang macam-macam puasa sunnah secara lisan, melainkan turut mengajarkannya lewat kreasi kebudayaan yang sesuai dengan kondisi masyarakat (dakwah bil hal).

Akulturasi nilai-nilai budaya dan agama dalam sejarah pengamalannya di Nusantara selalu berdampak positif. Dengan cara ini agama ditampilkan lewat wajah paling membumi dan merakyat. Ritual keagamaan dihadirkan dalam ruang yang sudah dikenal atau setidaknya diakrabi oleh masyarakat, dan bukan semata di lembar kertas kitab Fikih. Ajaran agama didorong masuk hingga menancap dalam nalar bawah sadar masyarakat.

Tradisi dan kebudayaan dalam ritual agama tidak lahir tanpa filosofi dan nilai. Pesan-pesan kebajikan selalu ada dan menyertai tradisi tersebut. Perihal makanan yang bernama Ketupat saja disebut mengandung sejumlah pesan dan nilai relijiusitas. Dipilihnya Janur sebagai cangkang Ketupat dikarenakan serupa dengan bahasa Arab Jaa’annuur yang artinya ‘telah datang cahaya kebenaran’. Anyamannya disebut sebagai simbol rangkaian kesalahan manusia, sedangkan isinya yang berwarna putih saat dibelah menjadi tanda kebersihan hati. Ketupat yang sudah siap beserta sejumlah lauk pauknya diantarkan ke sanak kerabat dekat dan jauh sekaligus bersilaturrahim dan menjalin kebersamaan dengan cara santap bersama.

Inilah contoh kecil nan sederhana bagaimana agama diamalkan dalam wajahnya yang sangat damai dan manusiawi. Para penyebar awal Nusantara, termasuk Walisongo, mengajarkan hal demikian sebagai warisan metodologis dakwah yang dapat digunakan dalam lintas zaman. Terbukti praktek pengamalan agama berbasis budaya mampu memuluskan agenda islamisasi Nusantara lima abad yang lalu. Ajaran agama yang dibentuk dalam nilai tradisi khas Nusantara itupun tak pernah menimbulkan konflik di tenngah-tengah masyarakat.

Dalam konteks keberagamaan yang lebih luas, besar, dan kompleks semangat ala para leluhur Islam Nusantara dapat terus diamalkan. Jargon Islam Nusantara bukanlah seperti yang dituduhkan selama ini, yaitu mengkerdilkan makna Islam yang universal ke lokalitas regional (Nusantara). Islam Nusantara harusnya dipahami sebagai cara, pengalaman, dan pengamalan ajaran agama yang mewujudkan visi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Bicara soal pengalaman dan pengamalan agama membutuhkan tidak sekedar penguasaan materi keagamaan an sich, melainkan juga memahami kondisi sosiologis, antropologis, bahkan politik masyarakat dimana agama itu dikembangkan. Sebagai bangsa berbudaya, Indonesia punya pengalaman banyak soal bagaimana agama berdialektika dan mencari solusi antara kepentingan agama dengan kepentingan kerajaan atau negara. Pengalaman dan pengamalan agama di tempat lain boleh jadi dan sangat mungkin berbeda, sehingga tak mungkin dipaksakan pemahamannya.

Dengan demikian, perakitan wajah agama yang keras dan ‘ngotot’ tak akan efektif dalam dakwah Islam, terlebih di Indonesia yang dihuni oleh ragam suku, budaya dan agama. Penyebaran nilai agama dengan cara-cara tak berbudaya justru akan melahirkan pemahaman sempit yang hanya memaknai agama sekedar hitam putih, hak batil. Sesuai sebutannya agama harusnya berarti ‘tidak kacau’ dan bukan melahirkan kekacauan-kekacauan atas nama agama. Semoga jargon Islam Nusantara menohok kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya memelihara nilai Keislaman dan Keindonesiaan.

Facebook Comments