Beberapa hari terakhir ini kita disuguhi pertunjukan teater kekerasan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Aksi massa menolak pengesahan RUU Cipta Kerja yang ditunggai oknum-oknum tidak bertanggung jawab telah memicu pecahnya aksi kekerasan. Para demonstran bentrok dengan aparat keamanan, sementara sejumlah fasilitas umum menjadi sasaran amuk massa.
Ihwal pro-kontra terhadap sebuah produk legislasi tentu bukan hal baru di negeri ini. Di alam demokrasi yang menjunjung tinggi spirit keterbukaan dan kebebasan, menyatakan pendapat melalui aksi demonstrasi pun telah menjadi keniscayaan. Namun, jika upaya menyalurkan aspirasi itu telah menjurus pada aksi-aksi kekerasan, maka pada dasarnya kita telah kehilangan kendali atas diri kita sendiri.
Dalam bukunya Powers of Honour, An Essay on Abjection, filosof perempuan asal Jerman Hannah Arendt berujar bahwa kegilaan telah memenjarakan mamusia dalam sifat kebinatangan, mengembara melampaui setiap fantasi kekerasan, bercak darah dan kematian. Mengingat kembali ujaran Arendt tersebut, kita pantas bertanya “apakah kita telah gila, atau telah berubah menjadi binatang, sehingga bisa mengekspresikan ketidaksetujuan dengan cara-cara brutal?”.
Melihat fenomena amuk massa yang terjadi belakangan ini kita menyaksikan bagaimana demokrasi perlahan mengarah pada hororkrasi. Demonstrasi yang seharusnya menjadi media penyampai aspirasi justru memproduksi ketakutan dan kecemasan yang dirasakan masyarakat. Dalam tinjauan ontologis, rasa tidak aman dan takut merupakan krisis eksistensial yang tidak jarang berujung pada dehumanisasi.
Kita tentu sepakat bahwa mekanisme demokrasi meniscayakan adanya kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Namun, kita tentu juga harus sepakat bahwa mekanisme penyampaian aspirasi itu harus dilakukan dalam bingkai merawat persatuan bangsa. Seperti kita tahu, keterbukaan ruang publik di era demokrasi bukannya tidak menyisakan residu persoalan.
Kian bebasnya ruang publik kita dan kian ekspresif perbedaan pandangan itu disuarakan, maka potensi adanya kelompok penunggang gelap yang berupaya meradikalisasi masyarakat agar bertindak vandalis-anarkis akan terbuka lebar. Apalagi sekarang, ketika beragam narasi provokatif yang meradikaliasi masyarakat agar bertindak anarkis bisa dengan mudah disebarkan terutama melalui beragam kanal media sosial.
Amuk massa yang berimbas pada munculnya kekacauan sosial ialah keadaan yang selalu ditunggu-tunggu oleh para penyusup, utamanya kelompok radikal. Layaknya kucing yang mengincar sepotong ikan sembari menunggu sang tuan terlena, kelompok radikal selalu menunggu momentum yang tepat untuk mengegolkan agendanya. Jika diamati, setidaknya ada dua langkah kelompok radikal dalam memanfaatkan sebuah isu yang tengah menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Strategi pertama ialah mengembuskan isu dan narasi yang berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kelompok radikal selalu mem-framingbahwa segala kebijakan pemerintah bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak. Strategi kedua ialah memprovokasi masyarakat yang memang sudah terpolarisasi oleh isu tertentu agar terjadi gesekan sosial yang berujung pada kekacauan.
Menghalau para Oportunis, Membuka Ruang Dialog
Dalam konteks kontroversi publik terkait pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, kaum radikal jelas menunjukkan wajahnya sebagai oportunis sejati. Mereka muncul belakangan setelah kontroversi UU ini meluas di tengah publik dan memuncak pada aksi massa di sejumlah daerah. Padahal, seperti kita tahu, kontroversi publik terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja sudah terjadi sejak UU tersebut masih dalam tahap penyusunan di DPR. Kaum oportunis, apa pun bentuk, motif dan latar belakangnya merupakan benalu dalam demokrasi yang wajib kita enyahkan. Mereka akan menjadi beban bagi demokrasi dalam lingkup sempit, dan beban bagi bangsa dalam konteks lebih luas.
Menghangatnya situasi sosial belakangan ini tentu wajib kita pahami sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Sebagai bangsa yang besar, kita pernah melewati beragam tantangan serupa. Kuncinya ialah bagaimana mengelola berbagai perbedaan pandangan itu agar tidak menjurus pada konflik sosial yang melibatkan sesama anak bangsa. Situasi ini harus dipahami secara progresif sebagai momentum untuk memperkuat konsolidasi demokrasi yang selama dua dekade era Reformasi ini kita jalani. Satu hal yang pasti, kita wajib memastikan tidak ada celah bagi kelompok tertentu untuk menebarkan provokasi, radikalisasi dan upaya-upaya yang dapat menyulut praktik kekerasan, vandalisme dan anarkisme dalam maknanya yang negatif.
Membangun aliansi nasional untuk menangkal narasi radikal dan anarkis ialah keharusan yang tidak bisa ditawar. Di titik ini, kita tentu memerlukan kerjasama yang apik antara masyarakat sipil dan pemerintah. Di satu sisi, pemerintah perlu membuka ruang dialog yang sehat bagi kelompok masyarakat yang merasa tidak puas akan kebijakan yang diambil terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja. Jika memperhatikan situasi yang terjadi di lapangan, penolakan publik ini lebih banyak dilatari oleh kesimpangsiuran informasi yang beredar.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa hoaks dan provokasi juga turut andil menyulut api amarah massa di lapangan. Komunikasi yang efektif dan simpatik sekaligus komitmen untuk membuka saluran dialog dengan masyarakat menjadi kunci pemerintah dalam mengelola isu UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Di saat yang sama, masyarakat sipil perlu meninggalkan praktik budaya kekerasan dalam menyampaikan aspirasi dan beralih pada cara-cara konstusional.
Indonesia ialah negara demokrasi yang berdasar pada aturan hukum. Kita memiliki badan dan piranti hukum untuk menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan kerja-kerja legislasi. Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai anak kandung Reformasi didesain untuk menyelesaikan sengketa perundang-undangan secara legal dan konstitusional. Mekanisme penyelesaikan sengketa perundang-undangan melalui jalur MK tentu lebih elegan dan beradab ketimbang melalui pengerahan massa yang tentunya rawan ditunggangi kelompok tertentu.