Tak seperti biasanya, anak itu sedari bangun tidur, ketika terang mulai meliputi Bumi, bermain dan berlarian di depan rumah. Tak ada minat untuk menonton TV, rewel atau sesekali melafalkan aksara-aksara yang menempel di sebuah dinding.
Hingga, pada pukul 12.00, beberapa kendaraan rombongan peziarah melintasi rumah yang kami singgahi, ia, Sangkan namanya, kemudian menggamit tangan Bapaknya untuk kembali menonton TV sebagaimana biasanya.
Ziarah kubur merupakan salah satu tradisi yang sudah lama mengakar di masyarakat nusantara. Tak sekedar tradisi yang lekat dengan masyarakat Jawa yang masih lekat dengan kebudayaannya, para muslim yang kental dengan kultur Jawa pun, atau para muslim yang memiliki dasar sufisme pada praktik-praktiknya, juga melakukan hal yang serupa.
Syekh Amin al-Kurdi, pengarang kitab Tanwirul Qulub yang karib dengan para penikmat tasawuf, khususnya para penganut tarekat Naqsyabandiyah, menyatakan bahwa ziarah kubur adalah juga sebentuk dzikir maut. “Mengakrabi kematian” tampaknya memang suatu hal yang mendasar di kalangan para sufi. Dalam beberapa corak tarekat, dapat kita jumpai “baiat” yang kental dengan nuansa kematian. Ada yang sekedar disentuh dadanya dengan beralaskan kain kafan dan kemudian di-talqin sampai ada yang mesti dikafani dan dibaringkan laiknya orang mati serta ditinggal sendirian di ruang khusus yang sunyi dimana hanya tinggal sang salik dan Tuhannya yang ada. Pada titik ini pula dapat dikatakan bahwa aktivitas bertuhan adalah sebuah lakuyang pada dasarnya bersifat khas dan dhewek.
Pada kasus ziarah kubur, yang berlaku bagi orang-orang awam, di samping mendoakan dan ngalap berkah dari para ahli kubur yang dianggap suci atau saleh, para peziarah juga diingatkan akan kematiannya sendiri yang niscaya. Dengan mengingat kematiannya sendiri yang khas diharapkan para peziarah akan tumbuh kesadarannya untuk senantiasa bersikap moderat.
Senafas dengan Heidegger yang pernah secara detail menyingkap peristiwa kematian. Pada dasarnya aktivitas seperti ziarah kubur itu, atau aktifitas-aktifitas yang sifatnya mengenang orang yang sudah mati, memiliki manfaat bagi diri sendiri, mengingat bahwa batas pengetahuan manusia hanya sampai pada segala hal yang dapat diukur (Ziarah Makam sebagai Zikir Maut, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Konsep moderasi beragama selama ini saya kira masih kerap diasosiasikan dengan pola pemahaman beragama yang kemudian diharapkan untuk mengilhami laku-laku beragama. Cukup berbeda dengan praktik-praktik yang diwariskan oleh tradisi dimana laku-laku dahulu yang ditekankan untuk kemudian membuahkan pola-pola pemahaman yang bersifat alamiah tanpa bentukan unsur-unsur eksternal: karena proyek, paksaan pemerintah, tekanan-tekanan kultural, dst. (Sarkara: Moderasi Beragama dalam Kerangka Kearifan Nusantara, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2023).
Pada aktivitas seperti ziarah kubur, dimana ketika dzikir maut itu mengena, yang konon orang mengalami sebentuk “mysterium tremendum et fascinosum,” secara alamiah orang akan dapat mengolah atau memomong nafs-nafs-nyauntuk lebih selaras. Secara sederhana, surga dan neraka barangkali memang hanyalah dongeng bagi para bocah, namun tidak demikian dengan kematian. Ia adalah—dengan kembali meminjam ungkapan Heidegger, yang konon pernah tak percaya pada Tuhan—satu-satunya eksistensi yang dapat merontokkan segala eksistensi yang mungkin: “Possibility of the impossibility of any existence at all.”