Konon kebudayaan Jawa adalah laksana air yang akan tetap air meskipun berwadahkan telaga ataupun samudera. Banyak sejarawan mencatat, salah satunya M.C. Ricklefs, bahwa terdapat “kontinuitas-mistis” antara kebudayaan Jawa dan agama, dalam hal ini Islam, yang menyebabkan berbagai agama yang datang dapat dengan mudahnya lekas akrab.
Dalam hal ini, saya pun berpendapat bahwa kebudayaan Jawa, atau ketika sudah menjadi sebentuk pola pemahaman yang dapat dinamakan sebagai kejawen, adalah sebentuk agama sipil, sepetak ruang yang dapat menampung berbagai kepentingan agama yang ada. Taruhlah dalam ekspresi keagamaan maupun sosial-politik di Jawa yang masih bersandar pada bahasa Jawa, baik yang bersifat formal maupun keseharian.
Orang tentu tak asing pada ungkapan-ungkapan Jawa yang bisa sangat intim semacam “Gusti,” “Pengeran,” maupun “Dalem,” yang di samping secara sosial-politik dikenakan pada raja lahiriahnya, pada ruang-ruang privat juga dikenakan pada raja batiniyahnya, baik itu “Allah,” “Yesus,” dsb. Dan yang mecengangkan, ketika istilah “Allah” maupun “Yesus” itu dihilangkan, sesesap rasa yang terkait erat dengannya tak juga hilang meskipun hanya dengan istilah “Gusti,” “Pengeran” maupun “Dalem”—sebagaimana ungkapan lelayu “Sampun kapundhut marak ing Ngarsa Dalem….”
Lebih mencengangkannya lagi, tak ada satu pun agama yang tumbuh dan berkembang di Jawa melakukan klaim atas istilah-istilah itu, seumpamanya bahwa “Gusti” ataupun “Pengeran” di situ adalah “Allah” ataupun “Yesus.” Ketika tak ada upaya melakukan klaim, maka dapat disimpulkan bahwa baik Islam, Katolik maupun agama-agama lainnya yang ada di Jawa, tengah melangsungkan sebentuk laku berbagi. Atau dapat dikatakan juga, ketika pun mereka tak berupaya berbagi, kebudayaan Jawa membingkai mereka untuk saling toleran atas segala perbedaan yang ada.
Dalam kondisi sosio-kultural yang majemuk tentu laku berbagi atau norma untuk saling toleran atas perbedaan adalah mutlak dijadikan dasar untuk hidup bermasyarakat dan bernegara. Atau dengan kata lain, di samping berbagai perangkat undang-undang yang ada, kebudayaan lokal mana pun, sebagaimana kebudayaan Jawa, sudah semestinya memang diakomodasi juga dalam kehidupan modern bermasyarakat dan bernegara.
Modernitas, sebagaimana yang telah banyak dinyatakan sebagai proyek usang nan gagal, dalam konteks kebhinekaan, justru pernah tercatat sebagai sumber segala totalitarianisme dan perpecahan. Bukankah, dalam konteks agama, paketan adaptif terhadap kemajuan zaman dan seruan untuk kembali pada ‘Qur’an dan Sunnah adalah juga sebentuk pembasmian lokalitas yang sudah terbukti mampu menganyam kemajemukan di Indonesia sampai hari ini?
Maka, dalam konteks kemajemukan, benarlah pandangan yang menyatakan bahwa pertama-tama orang mestilah merasa sebagai orang Jawa, Sunda, dan bahkan pun Indonesia terlebih dahulu daripada yang lainnya, dimana yang lainnya ini telah terbukti mengikuti dengan sendirinya ketika kesadaran yang pertama itu sudah tertata.