Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan harmonis. Dalam makna yang agung ini, politik sangat lekat dengan kebijaksanaan. Politik berarti sebuah ide yang mengandung tanggungjawab moral melayani kepenitngan bersama (res public) atau kepenitngan umum (mashlahah ammah).
Manusia berarti makhluk sosial, sekaligus makhluk politik yang menjadikan politik sebagai sarana mengejar keadilan dan kebajikan. Dalam konteks ini, politik sangat menekankan aspek moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Politik bukan tentang kekuasaan yang pragmatis, tetapi tentang prinsip nilai yang humanis.
Begitu pula dengan agama, secara esensial, walaupun beragamnya para ahli mendefinisikan, agama merupakan sistem keyakinan, nilai dan praktek yang bertujuan untuk memberikan makna kehidupan manusia, menjalin hubungan yang erat dengan sesuatu yang sakral (Tuhan) dan memandu perilaku sosial dengan etika dan norma untuk menciptakan keadilan dan kebahagiaan. Manusia adalah makhluk relijius karena secara fitrah ia akan mencari makna hidup dan menjadikan kekuatan di atas segalanya sebagai sembahannya.
Dua entitas ini, agama dan politik, mempunyai tujuan sama yang agung. Namun, pertanyaannya kenapa ketika agama dan politik bersatu justru menghancurkan segalanya. Atau justru kehancuran peradaban itu karena politik dipisahkan dengan agama.
Teokrasi menjadi pilihan ketika ingin menyatukan agama dan politik. Politik dianggap bagian sakral dalam perwujudan profan kehendak Tuhan. Namun, bentuk ini memperi peluang kepada otoritarianisme dan penyalahgunaan tafsir agama demi kepentingan politik. Agama dijadikan legitimasi merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Agama sering digunakan sebagai alat mobilisasi massa dan dimanipulasi untuk tujuan politik praktis. Polarisasi menjadi tak terhindarkan berdasarkan identitas agama. Sebaliknya, agama menjadi tumpul karena Cuma sebagai stemple kekuasaan. Potensi diskriminasi terhadap kelompok minoritas menjadi cukup besar.
Sekularisme menjadi pilihan ideal bagi beberapa negara tertentu. Pemisahan agama dan politik terjadi atas kekecewaan campur tangan “tuhan” atas kehendak politik manusia. Pemisahan ini dianggap berhasil, namun dalam beberapa hal justru meningkatkan perilaku amoral dalam penyelenggaraan kekuasaan politik. Dehumanisasi politik bisa terjadi karena krisis pedoman dan moral yang dianggap sakral.
Politik tanpa nilai cenderung melihat manusia sebagai komoditas politik. Dimensi kemanusiaan menjadi sirna sebagai pertimbangan dalam politik. Kekacauan sosial dan instabilitas bisa terjadi karena hilangnya pedoman yang dianggap sakral dalam masyarakat. Salah satu contoh misalnya, kejahatan besar dalam sejarah dari ideologi Nazi yang memainkan ideologi supremasi rasialisme. Holoasut sebagai kejahatan paling biadab dalam sejarah yang menghilangkan banyak nyawa dan kebencian rasial yang mendalam.
Agama harus dipisahkan dalam politik? Perpaduan agama dan politik menjadi berbahaya ketika salah satu atau keduanya disalahgunakan untuk mengejar kekuasaan dengan cara yang eksklusif dan represif. Agama, dengan nilai-nilai universalnya, dapat menjadi sumber moral yang memperkaya politik, tetapi harus dijalankan dalam kerangka yang menghormati pluralisme dan kebebasan.
Untuk mencegah bencana, perlu ada keseimbangan antara peran agama sebagai pedoman moral dan politik sebagai alat pengelolaan masyarakat yang rasional dan inklusif. Agama Sebagai Pemandu Moral dalam Politik
Nilai-nilai universal agama, seperti keadilan, empati, dan kejujuran, dapat memperkuat dimensi etika dalam politik. Misalnya, seorang pemimpin politik dapat terinspirasi oleh ajaran agama untuk berkomitmen pada kebijakan yang adil dan tidak korup.
Sebaliknya, politik sebagai wadah untuk menerapkan nilai agama. Dalam konteks demokrasi, nilai-nilai agama dapat diterjemahkan menjadi kebijakan yang bermanfaat bagi semua, tanpa diskriminasi berdasarkan agama tertentu. Misalnya, kebijakan anti-korupsi dan pro-kesejahteraan yang didasarkan pada nilai moral agama.
Terpenting adalah memperjelas batasan untuk mencegah politisasi agama
Agama tidak boleh menjadi alat politik praktis yang membenarkan diskriminasi atau segregasi. Sebaliknya, ia harus menjadi sumber inspirasi yang inklusif.