Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

- in Narasi
19
0
Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam kenyataannya, ekspresi keberagamaan tidak selalu mencerminkan nilai-nilai kedamaian yang seharusnya menjadi inti dari ajaran agama. Fenomena “agama sumbu pendek” muncul sebagai gambaran tentang bagaimana sebagian orang menjalankan agama secara reaktif dan emosional tanpa kedalaman pemahaman.

Agama sumbu pendek bukanlah istilah resmi dalam teologi ataupun sosiologi, melainkan frasa populer untuk menggambarkan perilaku sebagian umat beragama yang mudah tersinggung, cepat marah, dan langsung bereaksi keras atas perbedaan, kritik, atau bahkan candaan tentang simbol keagamaan. Mereka yang tergolong dalam kategori ini cenderung mengedepankan kemarahan daripada diskusi, ancaman daripada dakwah, serta kekerasan daripada kasih sayang.

Padahal, semua agama besar di dunia menekankan pentingnya kesabaran, kasih, toleransi, dan akhlak mulia. Namun, kenyataan sosial memperlihatkan adanya jarak antara doktrin dan tindakan sebagian penganut agama. Di mana banyak penganut agama yang justru emosional dan reaktif (sumbu pendek) dalam merespons peristiwa keagamaan. Yang bukan hanya sebatas menjadi fenomena, tetapi juga telah menjadi habitus dalam keagamaan masyarakat Indonesia.

Habitus, dalam pengertian Bourdieu, adalah sistem disposisi yang tertanam dalam diri seseorang melalui pengalaman sosial. Ia terbentuk sejak kecil, lewat pendidikan, lingkungan dan institusi sosial lain seperti sekolah dan tempat ibadah. Habitus membentuk cara seseorang berpikir, merasakan, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari—termasuk dalam beragama.

Jika sejak kecil seseorang tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan bahwa agama adalah alat untuk menghakimi, maka habitus keberagamaannya akan cenderung eksklusif. Jika ia terbiasa melihat tokoh agama marah-marah di mimbar, maka kemarahan dianggap sah sebagai ekspresi iman. Jika media sosial yang ia konsumsi hanya berisi ujaran kebencian, maka ia akan menginternalisasi bahwa kekerasan adalah bentuk pembelaan terhadap Tuhan.

Inilah bahayanya habitus yang keliru. Ia bekerja secara halus, tanpa disadari, dan terus-menerus mengukir pola pikir serta tindakan. Orang tidak sadar bahwa cara ia bereaksi atas isu-isu keagamaan sudah dibentuk oleh pengalaman-pengalaman sosial yang menanamkan pola tertentu.

Habitus keberagamaan sumbu pendek menjadi sangat berbahaya karena bisa melahirkan tindakan ekstrem. Kita menyaksikan bagaimana penyerangan rumah ibadah, pelarangan ibadah umat lain, atau bahkan aksi teror dilakukan dengan membawa nama agama. Dalam banyak kasus, pelaku merasa bahwa tindakannya adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan, padahal sesungguhnya mereka adalah korban dari habitus keberagamaan yang menyimpang.

Sayangnya, habitus ini sering kali diperkuat oleh institusi sosial itu sendiri. Beberapa lembaga pendidikan dan tempat ibadah tidak membekali umatnya dengan cara berpikir kritis dan moderat. Ceramah-ceramah yang membakar emosi, alih-alih mencerahkan, lebih disukai karena terasa lebih “berdaya”. Sementara ajaran cinta dan damai dianggap lemah dan tidak cocok.

Karena itu, melawan habitus agama sumbu pendek bukan perkara mudah. Ia tidak bisa hanya diatasi lewat ceramah atau himbauan moral. Karena habitus bekerja di tingkat bawah sadar, maka strategi melawannya harus menyasar akar sosial dan kultural tempat habitus itu dibentuk.

Kita harus menyadari bahwa Tuhan tidak membutuhkan pembelaan dalam bentuk kekerasan. Yang Tuhan inginkan adalah manusia yang memperlakukan sesamanya dengan adil, penuh kasih, dan rendah hati. Agama seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk memperbaiki diri dan masyarakat, bukan menjadi pembenar untuk membenci dan memusuhi orang lain.

Sebab itu, habitus agama sumbu pendek ini harus dilawan, bukan dengan cara yang sama kerasnya, tapi dengan keteguhan untuk terus menghadirkan wajah agama yang lembut, rasional, dan inklusif. Kita semua bertanggung jawab dalam membentuk habitus baru—habitus keberagamaan yang toleran, terbuka, dan berakar pada cinta kasih dan nilai-nilai toleransi.

Masa depan keberagamaan di Indonesia sangat ditentukan oleh jenis habitus yang kita tanam hari ini. Apakah kita akan terus memelihara pola pikir sempit dan reaktif, ataukah berani membangun tradisi baru yang menghargai perbedaan? Pilihan itu ada di tangan kita.

Facebook Comments