Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

- in Keagamaan
9
0
Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah laboratorium raksasa bagi pertemuan gagasan-gagasan besar umat manusia. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” yang acap kali kita lantunkan nyaris sebagai mantra, sejatinya adalah sebuah postulat filosofis yang berani, lahir dari rahim sejarah panjang negosiasi identitas di Nusantara. Lebih dari sekadar rekognisi atas pluralitas etnis, agama, dan budaya, ia adalah komitmen ontologis terhadap kesatuan dalam keragaman.

Pancasila, sebagai weltanschauung bangsa, hadir bukan sebagai kompromi pasif, melainkan sintesis kreatif yang mencoba mendamaikan imperatif-imperatif yang sekilas tampak berlawanan: nasionalisme modern dengan spiritualitas religius, hak asasi individu dengan kewajiban komunal, kedaulatan rakyat dengan keadilan Ilahi. Ia adalah manifestasi dari apa yang oleh para founding fathers kita, dalam pergulatan intelektual dan spiritual mereka, dipahami sebagai kalimatun sawa – titik temu – bagi bangsa yang majemuk ini.

Dalam kerangka ini, Pancasila menjadi semacam civic religion, meminjam terminologi Rousseau, yang menyediakan fondasi moral bagi kewarganegaraan, sekaligus menjadi payung bagi agama-agama partikular untuk mengekspresikan diri.

Pada saat yang sama, Islam sebagai agama mayoritas, membawa konsepsi ukhuwah yang fundamental. Namun, pemahaman ukhuwah ini seringkali mengalami penyempitan makna, tereduksi menjadi ukhuwah Islamiyah semata—persaudaraan intra-Muslim. Padahal, khazanah Islam klasik hingga kontemporer telah lama mengakui dimensi yang lebih luas: ukhuwah insaniyah atau basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).

Ini bukan sekadar toleransi pasif, melainkan panggilan aktif Al-Qur’an untuk lita’arafu—saling mengenal (QS. Al-Hujurat: 13)—sebuah imperatif epistemologis untuk memahami “yang lain” sebagai bagian dari sunnatullah, ketetapan Ilahi atas keragaman. Di sinilah letak urgensi untuk terus-menerus melakukan ijtihad kontekstual, agar spirit universal Islam tidak terpenjara dalam partikularisme sempit.

Para intelektual Muslim Nusantara telah memberikan kontribusi signifikan dalam menjembatani kedua kutub ini. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan keberanian profetiknya, menerjemahkan pluralisme bukan sebagai sinkretisme teologis, melainkan sebagai penerimaan sosiologis atas kehendak Tuhan akan keragaman (sunnatullah). Baginya, kebenaran absolut agama adalah klaim internal pemeluknya, namun dalam ruang publik, pengakuan atas hak hidup semua keyakinan adalah keniscayaan.

Pembelaannya terhadap minoritas bukanlah basa-basi politik, melainkan derivasi logis dari prinsip keadilan (al-‘adl) dan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah) yang menjadi inti maqashid al-syari’ah. Gus Dur seolah mengingatkan kita pada Perjanjian Madinah (Mitsaq Madinah), sebuah kontrak sosial di masa Nabi Muhammad SAW yang menjamin hak-hak semua komunitas, termasuk non-Muslim, dalam sebuah entitas politik bersama.

Buya Hamka, sastrawan-ulama Minangkabau, menawarkan perspektif yang berbeda namun komplementer. Baginya, negara bukanlah entitas sekuler yang terpisah dari agama, melainkan instrumen yang diperlukan untuk melindungi dan memfasilitasi praktik keagamaan. Cinta tanah air (hubbul wathan) dilihatnya sebagai fitrah insaniyah yang dapat menjadi manifestasi iman, sebab tanah air adalah anugerah (ni’mah) Tuhan. Nasionalisme, dalam optik Hamka, adalah absah selama tidak menafikan nilai-nilai universal Islam dan berkontribusi pada kemaslahatan bersama. Ini adalah sebuah upaya untuk mendialogkan konsep Dar al-Islam (wilayah Islam) dan Dar al-‘Ahd (wilayah perjanjian) dengan realitas negara-bangsa modern, di mana loyalitas kebangsaan tidak serta-merta menggerus identitas keagamaan.

Ormas-ormas Islam arus utama, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, secara historis telah memainkan peran sebagai jangkar ideologis. Penerimaan mereka terhadap NKRI dan Pancasila sebagai “konsensus final” (al-mitsaq al-wathani) bukanlah tanpa pergulatan teologis dan politis. Ini adalah hasil dari ijtihad jama’i (penalaran kolektif) yang mempertimbangkan konteks keindonesiaan yang unik. Mereka melihat bahwa nilai-nilai Pancasila—ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan sosial—secara substantif selaras dengan prinsip-prinsip fundamental Islam. Namun, perlu juga dicatat bahwa “finalitas” ini tidak berarti stagnasi. Ia harus terus-menerus direvitalisasi dan diaktualisasikan dalam menjawab tantangan zaman, agar tidak menjadi fosil sejarah.

Konvergensi antara nasionalisme dan ukhuwah ini, secara teoretis, memungkinkan seorang Muslim Indonesia untuk menjadi patriot sejati tanpa harus mengorbankan kedalaman imannya. Nasionalisme religius yang demikian menjadi benteng pertahanan terhadap ideologi-ideologi transnasional—baik itu ultrasekulerisme yang menafikan peran agama dalam ruang publik, maupun ekstremisme religius model khilafah yang menolak konsep negara-bangsa dan mengabaikan partikularitas sejarah dan budaya Indonesia.

Maka, nasionalisme inklusif Indonesia, yang berlandaskan Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dapat kita tafsirkan sebagai aktualisasi modern dari ukhuwah basyariyah. Ia adalah pengakuan atas martabat setiap insan, terlepas dari afiliasi primordialnya. Secara filosofis, ini adalah perwujudan dari etika global yang mengakui hak hidup setiap komunitas budaya dan agama dalam sebuah tatanan politik yang adil. Upaya merajut harmoni ini, oleh karena itu, bukanlah sebuah proyek yang selesai, melainkan sebuah “kerja peradaban” yang berkelanjutan (ongoing project). Ia menuntut kewaspadaan intelektual, keberanian moral, dan dialog kritis yang tidak pernah berhenti.

Facebook Comments