Banjir dan Moderasi Beragama: Belajar Cara Berlaku Bijak terhadap Alam dan Agama

Banjir dan Moderasi Beragama: Belajar Cara Berlaku Bijak terhadap Alam dan Agama

- in Faktual
23
0
Banjir dan Moderasi Beragama: Belajar Cara Berlaku Bijak terhadap Alam dan Agama

Banjir kembali melanda Jakarta dan sekitarnya. Curah hujan tinggi yang turun tanpa henti, ditambah luapan sungai dan air kiriman dari kawasan hulu di Bogor, menyebabkan sebagian wilayah Jabodetabek lumpuh total. Aktivitas sosial masyarakat terhenti, jalan-jalan utama tergenang, dan kerugian material tak terelakkan.

Air, yang awalnya adalah anugerah, kini berubah menjadi bencana. Fenomena ini mengajak kita untuk merenung lebih dalam: bagaimana sesuatu yang sejatinya rahmat bisa berubah menjadi petaka ketika ia melampaui batas keseimbangan.

Dalam Islam, air adalah simbol keberkahan dan kehidupan. Al-Qur’an mengajarkan bahwa “Dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS. Al-Anbiya: 30). Ia membersihkan tubuh dalam wudhu, menumbuhkan tanaman, dan menghidupi makhluk. Tapi, ketika air berlebihan dan tidak dikelola dengan bijak, ia menjadi banjir, longsor, dan kehancuran.

Banjir mengajarkan kita satu pelajaran penting: bahwa segala sesuatu, bahkan yang paling dibutuhkan sekalipun, jika melampaui batas, akan berubah menjadi bencana. Begitu pula agama.

Agama adalah cahaya. Ia menerangi langkah manusia dalam kegelapan zaman. Ia memberi arah, kedamaian, dan makna dalam kehidupan. Tapi ketika agama dijalani secara ekstrem dan melampaui batas kemanusiaan, ia tak lagi menjadi berkah. Ia berubah menjadi senjata.

Sejarah mencatat betapa beragama secara ekstrem—baik dalam bentuk radikalisme maupun fanatisme sempit—telah menyebabkan rentetan tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Sejarah mencatat banjir darah yang mengerikan akibat cara beragama yang ekstrem dan melampuai batas. Perang, perpecahan, hingga krisis kemanusiaan menjadi penanda hancurnya peradaban.

Adakah salah agama ketika menjadi alat yang dieksploitasi menghancurkan peradaban? Adakah salah air ketika ia berubah menjadi banjir, bahkan tsunami yang meluap?

Di sinilah pentingnya moderasi beragama—jalan tengah yang ditunjukkan Islam sebagai agama rahmat bagi semesta. Allah SWT berfirman: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath (moderat).”
(QS. Al-Baqarah: 143)

Ayat ini bukan sekadar perintah dalam beragama, moderasi adalah cara menjalani kehidupan secara kaffah. Ia adalah prinsip dasar bagaimana umat Islam seharusnya bersikap: adil, seimbang, tidak berlebihan, dan tidak kekurangan. Moderasi adalah hukum semesta—sunnatullah—yang menjaga harmoni kehidupan.

Jika alam digerakkan oleh prinsip moderasi—seperti air yang mengalir tenang dalam saluran yang seimbang—maka manusia pun semestinya mengatur hidup dan agamanya dengan cara yang moderat. Air harus diperlakukan secara moderat, tidak berlebihan. Alam juga tidak bisa seenaknya dieksploitasi hingga marah menimbulkan anarki ekologis.

Kebutuhan manusia dalam membangun ekonomi sejatinya tidak menabrak prinsip ekologi. Ketika kepentingan ekonomi tidak seimbang dengan kebutuhan ekologis, bencana akan muncul. Ketika manusia hanya sibuk menatat kota demi kepentingan ekonomi, kepentingan ekologis terpinggirkan.

Seperti halnya sistem drainase kota yang sering tak mampu menampung air hujan yang ekstrem, banyak hati manusia juga tidak mampu menampung luapan fanatisme beragama. Ketika pemahaman agama tak lagi dibingkai dengan akal sehat, kasih sayang, dan pemahaman kontekstual, ia akan menumpuk menjadi “air deras” yang suatu saat akan meluap dan menghanyutkan akhlak serta nilai kemanusiaan.

Sebagaimana banjir tak hanya merusak rumah, tetapi juga tatanan sosial, ekstremisme agama pun menghancurkan tatanan masyarakat. Ia memecah belah umat, mengobarkan kebencian, dan menjauhkan manusia dari nilai-nilai luhur agama itu sendiri.

Di tengah banjir yang kini menggenangi ibu kota, mari kita belajar: air mengajarkan bahwa setiap anugerah butuh kendali. Kita tidak bisa memusuhi hujan, tapi kita harus memperkuat sistem yang bisa mengelolanya. Begitu pula dalam beragama. Kita tidak boleh menyalahkan agama, apalagi meninggalkan agama, tapi kita harus membangun pemahaman yang seimbang agar agama tidak menjadi alat pembenaran bagi kerusakan.

Mari jaga bumi dengan kesadaran moderasi. Mari jaga agama dengan cinta, akal sehat, dan kedalaman spiritual. Karena agama adalah jalan menuju keselamatan, bukan kehancuran. Seperti air, ia harus mengalir dengan tenang, memberi kehidupan di mana pun ia menyentuh.

Facebook Comments