Brain Rot adalah Stimulus Radikalisasi Paling Efektif!!

Brain Rot adalah Stimulus Radikalisasi Paling Efektif!!

- in Narasi
30
0
Brain Rot adalah Stimulus Radikalisasi Paling Efektif!!

Brain rot menjadi frase paling diperbincangkan dalam skena teknologi informasi saat ini. “Pembusukan otak” ini mengacu pada turunnya rentang perhatian, hilangnya kesabaran untuk menikmati proses, dan pikiran yang seolah terus-menerus menagih asupan konten singkat dan dangkal.

Menyadur harian Kompas (2025), sebanyak 17 pakar dari berbagai disiplin ilmu memvalidasi fenomena ini. Brain rot mempotret kemunduran fungsi kognitif pada manusia yang dipicu oleh konsumsi berlebihan konten digital yang masif.

Sederhananya, otak kita sedang dibiasakan untuk tidak berpikir. Ia dilatih untuk menerima stimulus, bukan untuk mengolah informasi.

Kelompok yang paling rentan terhadap kondisi ini, tentu saja, adalah Generasi Z (kelahiran 1995-2012) dan Generasi Alfa (kelahiran 2013-2025). Jajak pendapat Litbang Kompas bahkan menunjukkan, Generasi Z menjadi kelompok yang paling banyak melaporkan gangguan psikis akibat penggunaan gawai, seperti kesulitan berkonsentrasi dan kecemasan.

Para pakar mengidentifikasi setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi pemicu “wabah” kelesuan nalar ini. Ketiganya bekerja secara simultan, membentuk sebuah ekosistem yang sempurna untuk melanggengkan brain rot.

Pertama adalah faktor lemahnya literasi digital dan pola asuh. Di banyak keluarga, gawai telah beralih fungsi menjadi “digital babysitter”. Ia menjadi jalan pintas untuk menenangkan anak, tanpa diimbangi dengan pendampingan dan pendidikan tentang bagaimana cara bernavigasi di dunia maya secara sehat. Anak dibiarkan berenang sendirian di lautan informasi tanpa dibekali nalar kritis sebagai pelampung.

Kedua, pola konsumsi masyarakat dan menguatnya budaya instan. Kita hidup di zaman yang memuja kecepatan dan kemudahan. Keinginan untuk mendapatkan hiburan atau informasi secara instan menjadikan dunia digital sebagai katarsis, sebuah pelarian dari tekanan dan kesepian di dunia nyata. Konten-konten receh menjadi pereda stres sementara, yang tanpa disadari menciptakan siklus candu yang sulit dilepaskan.

Faktor ketiga, dan mungkin yang paling berpengaruh, adalah arsitektur algoritma platform digital itu sendiri. Penting untuk dipahami bahwa platform seperti TikTok, Instagram, atau YouTube bukanlah ruang yang netral.

Mereka adalah mesin bisnis yang dirancang untuk satu tujuan utama, menyita perhatian kita selama mungkin. Algoritma mereka adalah pabrik dopamin yang bekerja 24 jam, mempelajari perilaku kita untuk kemudian menyajikan rentetan konten yang paling mungkin membuat kita terus menggulir.

Beberapa mungkin mengatakan berbagai platform medsos ini adalah ruang edukatif. Tetapi pada dasarnya, mereka tidak dirancang untuk membuat kita lebih pintar, melainkan untuk membuat kita lebih lama terpaku.

Namun, memandangnya sebatas isu kesehatan mental dan produktivitas adalah sebuah kesalahan fatal. Dampak sesungguhnya dari brain rot bukanlah sekadar terciptanya generasi yang dangkal.

Tragedi utamanya adalah terciptanya mangsa yang sempurna bagi kelompok ekstremis. Brain rot bisa menjadi akselerator proses radikalisasi.

Pikiran yang tak lagi sanggup fokus pada teks panjang adalah ladang subur bagi propaganda audio visual yang sering kali padat emosi dan minim data. Radikalisme tidak lagi disebarkan lewat kitab tebal, tapi lewat format yang persis sama dengan konten yang menyebabkan brain rot itu sendiri.

Ketika otak sudah lelah berpikir, ia akan mendambakan jawaban yang mudah dan absolut, sebuah kemewahan yang selalu ditawarkan oleh ideologi ekstrem. Situasi ini ideal bagi narasi radikal teroris mengkristalisasi narasi hitam-putih ‘kita versus mereka’.

Lonjakan dopamin akibat doom scrolling juga semakin membuka ruang gelap generasi kita untuk terpancing oleh ‘twist’ yang nyaris selalu memainkan sisi emosional. Kemarahan dan rasa menjadi korban adalah dopamin bagi kaum radikal.

Lebih berbahaya lagi, brain rot menciptakan ilusi yang disebut “nalar kritis semu”. Seorang remaja yang terpapar konten konspirasi atau anti-mainstream bisa jadi akan merasa dirinya lebih cerdas dan lebih ‘tercerahkan’ dari yang lain. Kelompok radikal teroris tidak perlu lagi menghancurkan nalar kritis seseorang, mereka hanya perlu membajak dan mengarahkannya.

Memerangi brain rot adalah bagian integral dari upaya pencegahan paham radikal terorisme. Ini adalah dua isu yang berkelindan, bukan parsial. Membangun kembali daya tahan kognitif, melatih generasi muda untuk berpikir secara terstruktur, dan mendidik mereka untuk menemukan kenyamanan dalam kompleksitas adalah bentuk pertahanan ideologis yang harus kita upayakan.

Jika kita membiarkan pikiran generasi penerus kita kosong dan lesu akibat asupan konten-konten nirgizi, jangan kaget jika kekosongan itu pada akhirnya akan diisi oleh sesuatu yang jauh lebih gelap dan destruktif.

Facebook Comments