Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman yang datang bersama kemajuan teknologi. Salah satu ancaman terbesar yang kita hadapi adalah paparan kebencian digital yang kian merajalela di dunia maya.
Generasi muda, yang seharusnya menjadi tonggak pembangunan bangsa, kini terpapar pada informasi yang tidak hanya mengalir deras, tetapi juga dipenuhi dengan narasi kebencian yang dapat merusak nilai-nilai kedamaian dan kebersamaan. Dalam menghadapi tantangan ini, kita harus berupaya membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana dalam menghadapi dunia digital, serta mampu menciptakan perdamaian di tengah ancaman teror perang geo-politik global.
Digital hate speech, merupakan fenomena yang semakin sering kita temui di media sosial dan berbagai platform digital lainnya. Narasi kebencian ini, yang sering kali tersebar dengan cepat dan luas, dapat mengarah pada polarisasi sosial yang semakin tajam. Pemikiran dan pandangan ekstrem pun mulai berkembang dalam masyarakat, terutama di kalangan generasi muda yang rentan terhadap pengaruh luar.
Dikutip dari laporan Pew Research Center (2018), 73% remaja mengakses internet setiap hari, dan 45% dari mereka merasa terpapar pada konten yang merendahkan kelompok tertentu. Paparan semacam ini berpotensi menumbuhkan kebencian terhadap kelompok lain, yang jika tidak ditanggulangi dengan baik, bisa berkembang menjadi intoleransi dan kekerasan dalam kehidupan nyata.
Kebencian digital juga memiliki dampak yang sangat besar terhadap psikologis generasi muda. Penelitian yang dilakukan oleh Common Sense Media pada 2020 menunjukkan bahwa 60% remaja mengaku merasa stres dan tertekan akibat konten negatif yang mereka temui di dunia maya. Tak hanya itu, pola pikir yang terbentuk akibat paparan kebencian ini dapat membentuk generasi yang lebih cenderung untuk memecah belah, bukan menyatukan. Jika dibiarkan, kebencian digital ini tidak hanya merusak hubungan antarmanusia, tetapi juga berpotensi menimbulkan gesekan sosial yang lebih besar.
Paparan kebencian digital ini juga terkait erat dengan ancaman geo-politik global. Ketegangan antarnegara semakin memanas, dengan peran teknologi informasi yang digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi opini publik dan memperburuk hubungan antarbangsa. Negara-negara besar sering menggunakan media sosial dan platform digital lainnya untuk menyebarkan propaganda yang dapat memicu ketegangan, bahkan peperangan.
Kita harus sadar bahwa generasi muda yang terpapar kebencian digital juga berpotensi menjadi korban dari manipulasi geo-politik global. Mereka yang tumbuh dengan narasi kebencian di dunia maya mungkin akan membawa pandangan yang penuh prasangka, yang akan sulit untuk diubah. Seperti yang disampaikan oleh Noam Chomsky dalam bukunya Hegemony or Survival (2003), penggunaan teknologi untuk mendukung kebijakan luar negeri negara besar sering kali mengabaikan dampak yang ditimbulkan pada masyarakat global, termasuk dalam menciptakan kebencian dan konflik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa generasi muda kita tidak terjebak dalam pusaran kebencian dan propaganda yang bisa memperburuk keadaan dunia.
Lantas bagaimana kita dapat membangun generasi yang tidak terpengaruh oleh kebencian digital dan ancaman geo-politik ini? Kunci utamanya adalah pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kedamaian, toleransi, dan saling menghargai. Semua ini bisa dimulai dari lingkungan yang paling dekat yakni keluarga.
Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak-anak untuk belajar tentang nilai-nilai kehidupan. Menurut American Psychological Association, 2020, pola asuh yang baik di dalam keluarga berperan besar dalam pembentukan karakter anak. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang cenderung memiliki kemampuan untuk berempati dan menghargai perbedaan. Sebaliknya, anak yang terpapar pada konflik dan kebencian di rumah akan lebih cenderung membawa pola pikir tersebut ke luar rumah, termasuk ke dalam dunia maya.
Pendidikan di keluarga harus menanamkan rasa saling menghormati dan memahami bahwa setiap orang, dengan latar belakang apapun, berhak dihargai. Jika setiap keluarga dapat mengajarkan nilai-nilai ini, maka akan tercipta generasi yang lebih terbuka, lebih damai, dan lebih siap untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang bijaksana. Oleh karena itu, kita perlu mengubah cara kita berinteraksi dalam keluarga, dengan menjadikan percakapan sehari-hari sebagai sarana untuk mengajarkan toleransi, kasih sayang, dan perdamaian.
Dalam membangun Indonesia yang damai dan rukun, kita harus memastikan bahwa anak-anak kita tumbuh dengan dada yang lapang dan tangan yang siap merangkul, bukan tangan yang mengepal untuk memukul. Tangan yang siap merangkul adalah simbol dari sikap terbuka dan siap menerima perbedaan, sementara tangan yang mengepal adalah simbol dari sikap agresif yang cenderung menghancurkan hubungan antarindividu.
Sebagai bangsa, kita perlu mendorong generasi muda untuk tidak hanya memiliki keterampilan teknis yang mumpuni, tetapi juga kemampuan untuk berpikir kritis dan bertindak penuh kasih sayang. Pentingnya pendidikan karakter yang berbasis pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang mencakup sikap saling menghormati dan gotong-royong. Pendidikan yang mengajarkan anak-anak kita untuk melihat dunia dengan kasih sayang dan empati akan menciptakan lingkungan yang lebih damai dan harmonis.
Membangun Indonesia yang damai dan rukun memang bukanlah pekerjaan mudah, tetapi itu bisa dimulai dari langkah-langkah kecil yang penuh kasih di ruang keluarga kita. Paparan kebencian digital yang kian mengkhawatirkan harus menjadi perhatian kita bersama, karena dampaknya dapat merusak generasi bangsa dan memperburuk ketegangan global. Dalam menghadapi tantangan ini, mari kita berkomitmen untuk mendidik anak-anak kita dengan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan kasih sayang. Generasi yang penuh cinta akan lebih mampu menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks dan berpotensi menumbuhkan kedamaian, bukan kebencian. Kita bisa memastikan bahwa tangan yang mereka hulurkan adalah tangan yang siap merangkul, bukan mengepal untuk memukul.