Akhir-akhir ini marak terjadi tindakan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Apalagi pasca penyebaran faham radikal Negara Islam Irak dan Suriah atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang sangat meresahkan masyarakat mulai merambah ke dunia maya. Banyak anak muda usia sekolah yang kini terjangkit penyakit paham radikal. Terbukti, beberapa waktu terakhir, terdapat beberapa kasus teror di tempat-tempat publik yang melibatkan anak muda usia sekolah.
Deteksi Penyebaran
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia sangat potensial bagi perkembangan aliran radikal. Sekolah umum, madrasah atau pondok pesantren, saat ini juga mulai ramai diberitakan menjadi incaran penyebaran paham ISIS (Ibda, 2015). Sebagai negara yang menjadi ladang subur perkembangan faham ISIS, semua kalangan harus mendeteksi dini penyebaran tersebut.
Tito Karnavian selaku Kepala Polisi Republik Indonesia pernah mengatakan, Indonesia menjadi ladang subur karena mayoritas penduduk Islam, maka stok orang untuk menjadi radikal banyak dan bisa membantu Khalifah Islamiyyah. Penyebaran ISIS sebelum diberantas dan diputus melalui pendidikan harus dideteksi terlebih dulu, terutama oleh guru-guru di lingkungan sekolah. Apalagi saat ini media sosial menjadi wahana penyebaran radikalisme dan ISIS.
Banyak pelajar dari SD sampai SMA ketika membaca berita dan provokasi tentang doktrinisasi radikalisme tanpa filter. Tak hanya itu, di Youtube saat ini juga banyak beredar video penyebaran radikalisme ISIS yang secara otomatis mempengaruhi pola pikir pelajar. Tak ayal, ISIS semakin cepat dalam menanamkan pengaruhnya dengan melakukan propaganda melalui media sosial.
Pencegahan
Banyak cara untuk meredam radikalisme sejak usia dini. Pertama, melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Peristiwa yang paling tepat dilakukan adalah saat dilaksanakan latihan dasar kepemimpinan (LDK) bagi pengurus OSIS yang baru. Dalam sesi pelatihan dapat disisipkan materi radikalisme, bagaimana mengenalinya, dan bagaimana mengatasinya jika ada temannya yang punya pandangan yang radikal dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.
Kedua, melalui pendidikan karakter yang terintegrasi dalam setiap mata pelajaran (Pinem, 2016). Melalui pimpinan sekolah sudah saatnya pendidikan karakter sebagai mana yang sudah dicanangkan pemerintah dilaksanakan secara terpadu, terprogram dan berkelanjutan di sekolah. Seringkali pendidikan karakter di sekolah hanya sebatas kata-kata atau sebatas menuliskan nilai-nilai karakter di sebuah sepanduk atau brosur. Lalu setelah itu dilupakan. Atau bahkan hanya sekedar memenuhi persyaratan akreditasi ketika dinilai oleh tim penilai akreditasi (assessor). Mestinya nilai-nilai karakter, seperti patriotisme, sebagai contoh dapat diinternalisasikan kedalam pikiran siswa sehingga ia selalu mencintai bangsa dan negaranya, misalnya. Hal ini tentunya tidak bisa terjadi begitu saja. Ini membutuhkan sebuah proses dan waktu yang disengaja melalui sebuah program yang terencana dan terukur indikator keberhasilannya.
Ketiga, sekalipun berdasarkan kurikulum 2013 penilaian sikap diberikan kepada guru PKn dan Guru Agama, tidak berarti guru mata pelajaran lain tidak bertanggung jawab dalam pembinaan sikap siswa. Setiap warga sekolah sudah sewajarnya memperhatikan hal-hal aneh pada diri setiap siswa walaupun dengan menjunjung azas praduga tak bersalah.
Terakhir, dan yang paling penting, adalah menjalin kerjasama antara pihak sekolah dengan orangtua siswa (Pinem, 2016). Sering sekali terjadi pihak sekolah lebih dahulu tahu masalah anak tertentu, dari pada orang tuanya sendiri. Ketika pihak sekolah memberitahu, barulah orang tua merasa kaget. Untuk mengatasi hal ini perlu digalakkan kegiatan kebersamaan dengan orang tua yang sifatnya saling tukar informasi mengenai anak ketika di rumah maupun di sekolah, jika perlu ketika anak melakukan aktifitas setelah pulang sekolah seperti mengikuti kegiatan kursus. Orang tua harus tahu dengan siapa saja anaknya berteman, apa jenis kegiatannya dan dengan hal-hal apa saja anaknya sedang tertarik.
Inilah hal-hal yang bisa kita lakukan sekolah dalam mencegah tindakan terorisme. Hal ini karena tindakan terorisme dan radikalisme merupakan musuh bagi sekolah sebagai institusi pendidikan. Meskipun, kita memahami, sekolah itu juga bukan lembaga yang bisa melakukan penegakan hukum, seperti Kepolisian maupun Badan Narkotika Nasional, akan tetapi lewat tata tertib sekolah yang sifatnya mendidik kita bisa melakukan tindakan pencegahan untuk memutus penyebaran bibit-bibit radikalisme sejak dini. Jika ini berhasil, maka anak akan menjadi insan Pancasila yang penuh kasih sayang dan toleransi tanpa kekerasan apalagi terorisme. Wallahu a’lam.