Budaya Literasi; Filter Isu SARA di Dunia Maya

Budaya Literasi; Filter Isu SARA di Dunia Maya

- in Narasi
1712
0

Sebelum internet masuk ke bumi Nusantara, isu-isu lokal tetap menjadi konsumsi lokal, kecuali setelah media cetak atau televisi nasional memuatnya atau menyiarkannya. Percikan-percikan kecil lantaran kesalahpaham juga paling mentok menjadi konsumsi warga setempat.

Keadaan amat berbeda semenjak bola globalisasi menggelinding ke Nusantara. Sekat antar negara runtuh, pun dengan pribadi-pribadi masyarakat. Akses informasi terbuka lebar hanya bermodalkan gawai, yang bisa dimiliki dengan harga murah oleh hampir semua lapisan masyarakat. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, terselip potensi merusak yang luar biasa besarnya. Ibarat nuklir, ia bisa menjadi energi pembangkit listrik yang murah, sekaligus bisa menjadi mesin penghancur yang dahsyat.

Hidup di era digital memang mesti waspada. Pasalnya, sekecil apapun informasi yang kita posting di media sosial, memiliki pengaruh besar pada kehidupan masyarakat. Tak perlu jauh-jauh menerawang, ingatan kita agaknya masih segar untuk membayangkan Pilkada Jakarta yang seakan-akan jadi urusan seluruh masyarakat Indonesia. Pilkada tersebut menjadi viral lantaran salah satu kandidat menyinggung soal agama –yang mestinya tak perlu dipersoalkan-, isu paling sensitif di Indonesia.

Oleh karena itu, kita mesti berhati-hati dalam merespon isu yang berhembus di dunia maya. Terlebih selama tahun politik, di mana kepentingan politik mewarnai informasi di internet. Maka besar kemungkinan isu SARA akan dipermainkan, demi tujuan politik praktis; memenangkan kandidat.

Berbagai Isu SARA

Ada banyak isu yang biasa dimainkan oleh oknum berkepentingan. Isu-isu tersebut akan mudah menyebar hanya bermodalkan kuota internet. Sehingga, hampir dari semua lapisan masyarakat, bisa mengaksesnya.

Terutama isu SARA, respon masyarakat amat cepat. Isu tersebut mudah memancing reaksi keras masyarakat, lantaran ada semacam ‘phobia’ dalam diri masyarakat Indonesia. Penyebab ‘phobia’ juga beragam, salah satunya karena informasi yang tidak berimbang. Jika melihat sejarah Indonesia, ada suatu masa di mana narasi sejarah dikuasai pemerintah. Sehingga masyarakat memahami suatu sejarah hanya dengan satu kacamata.

Maka dari itu, penting kiranya kita mengetahui isu-isu yang berpotensi dimainkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Isu-isu tersebut sebenarnya bukanlah isu baru, melainkan telah lama ada. Bahkan, beberapa isu telah menjadi hantu dan sebagian masyarakat takut jika sewaktu-waktu hantu itu bangkit lagi.

Isu pertama yang berpotensi dimainkan adalah komunisme. Ini ada kaitannya dengan tragedi 1965, yang merupakan luka sejarah paling mengerikan di Indonesia. Bagaimana tidak, hanya karena suatu paham, seseorang dibantai tiada ampun. Tidak hanya itu, mereka yang baru tertuduh komunis (belum terbukti) juga tak luput dari tangan penjagal, yang ironisnya melibatkan masyarakat sipil. Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan menceritakan keputusasaan tertuduh komunis di Bali, yang menyerahkan diri untuk dibunuh. Mati lebih mereka sukai daripada disiksa.

Adapun isu kedua adalah Syiah. Beberapa tahun yang lalu, telah terjadi pengusiran masyarakat atas sekelompok orang yang menganut paham Syiah. Hal tersebut terjadi di Sampang, Madura. Hanya karena pilihan keyakinan yang berbeda dengan mayoritas, mereka diusir dari kampungnya. Ironisnya, pelakunya adalah sesama muslim.

Isu terakhir (dan ini yang sering terjadi), adalah berkaitan dengan Islam dan Kristen. Ada banyak kasus yang memosisikan dua pemeluk ini berhadap-hadapan. Di sebagian daerah yang terdiri dari mayoritas muslim, umat Kristiani diperlakukan diskriminatif; rumah ibadahnya dirusak. Pada sebagian daerah yang mayoritas Kristiani, umat muslim dihalangi ibadahnya; seperti konflik di Tolikora beberapa tahun lalu.

Budaya literasi

Bangsa cerdas tentu akan selalu mengaca pada sejarah. Begitu juga dengan Indonesia. Riak-riak kecil yang mewarnai perdebatan semasa pembentukan negara, telah mampu diatasi, dengan komitmen persatuan Indonesia. Rumusan dasar negara juga bersifat universal dan merangkul semua perbedaan yang ada.

Sejarah telah mencatat kebesaran hati para pendiri bangsa. Mereka rela menanggalkan kepentingan kelompok demi persatuan Indonesia. Siapakah mereka dan kenapa bisa berlaku demikian ksatrianya?

Jika kita menelusuri kebiasaan tokoh-tokoh bangsa, kita akan tahu bahwa mereka semua adalah pembaca yang baik. Mereka tidak bisa lepas dari kitab klasik maupun buku pengetahuan umum. Dari bacaan yang beragam itulah, karakter pendiri bangsa terbentuk; cerdas dalam berpikir, bijak dalam bertindak. Dari bacaan itu pula, sebagian tokoh bangsa menuangkan dalam tulisan, baik artikel maupun buku utuh.

Lalu, bandingkan dengan realitas yang kini terjadi. Sebuah penelitian menyebutkan, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara, dalam hal minat baca. Kita memang tidak diharuskan untuk percaya pada data tersebut, karena di sisi lain, ada banyak komunitas ataupun perseorangan yang menggalakkan budaya literasi. Akan tetapi, mengabaikan data tersebut juga bukan hal yang bijak. Cukuplah data itu dijadikan bahan refleksi, agar kita bisa lebih meningkatkan minat baca.

Hal ini perlu, lantaran dengan membaca, kita akan terlatih untuk mencerna informasi dengan hati-hati. Sehingga, dalam merespon isu SARA yang dimainkan di dunia nyata dan maya, kita tidak gagap dan hanya mengekor. Budaya literasi akan menjadi semacam filter bagi kita, dalam merespon informasi yang berseliweran di dunia maya, sehingga tidak terjebak aksi reaksioner yang merugikan.

Facebook Comments