Aktualisasi Pendidikan Profetik Dalam Pembentukan Karakter Milenial yang Toleran

Aktualisasi Pendidikan Profetik Dalam Pembentukan Karakter Milenial yang Toleran

- in Narasi
855
0

Akhir-akhir ini, kasus radikalisme merebak baik di dunia maupun Indonesia. Seminggu yang lalu, ledakan bom beruntun terjadi di delapan geraja Sri Langka. Pada Maret lalu, terjadi kasus pembataian kaum muslim di New Zealand. Bahkan Indonesia sendiri pada Mei 2018 lalu, dikejutkan dengan rentetan bom bunuh diri satu keluarga di tiga geraja Surabaya. Kasus terorisme tersebut merupakan meneror dan menganca perdamaian umat.

Era revolusi digital berhasil membuat manusia lupa akan jati diri sebagai makhluk sosial. Revolusi digital mengkonstruksi pribadi yang egoistis, apatis dan individualis. Betapanya, banyak milenial kita khusyuk bermain gadget tanpa memperhatikan lingkungan sekitarnya. Penulis mengafirmasi Jean Baudrillard (1929-2007) bahwa manusia di era revolusi digital tidak lagi menjadi subjek teknologi, melainkan objek dari teknologi. Ditambah lagi kasus kekerasan merebak dalam dunia remaja milenial seperti kasus Audrey.

Tidak cukup sampai di situ, revolusi digital juga memberi peluang besar bagi oknum radikalis untuk menyebarkan paham radikalisme lewat dunia maya. Milenial sangat akrab dengan dunia maya dan mereka berpotensi menjadi objek doktrinasi paham radikalisme. Milenial yang identik dengan remaja memiliki jiwa dan idealisme yang membara oleh karena itu posisi demikian membuat mereka rentan terdoktrin oleh ajaran-ajaran yang berpaham radikalisme.

Persoalan radikalisme yang menyasar milenial di atas hanya dapat dicegah melalui pendidikan karakter. Milenial adalah agent of change harus memiliki karakter yang kuat dan berakhlak. Kondisi krusial ini, pendidikan profetik hadir sebagai tawaran alternatif bagi persoalan radikalisme dan dekadensi moral. Pendidikan profetik tidak hanya diwujudkan dalam pembelajaran legal-formal, akan tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk transfer dan aktualisasi nilai dalam kehidupan milenial (empiris).

Baca juga :Pentingnya “Lawan Sastra Ngesti Mulya” dalam Membentuk Karakter Bangsa!

Pendidikan profetik melandaskan dirinya pada QS. Ali Imran ayat 110. Umat muslim sebagai manusia terbaik harus menyeru kepada kebaikan, mencegah perbuatan munkar serta beriman kepada Allah. Kuntowijoyo menerjemahkan ayat terebut ke dalam tiga unsur yakni humanisasi (memanusiakan manusia), liberasi (membebaskan manusia dari penindasan) dan transendensi (semangat filsafat parennial). Ketiga unsur tersebut disebut etika sosial profetik (Kuntowijoyo, 2001: 102).

Pendidikan profetik ini merujuk pada misi kenabian yaitu menyempurnakan akhlak dan pembawa kasih sayang bagi semesta alam. Selain itu, etika sosial profetik ini juga merujuk pada sifat Muhammad yang empat yakni shiddiq (kejujuran), amanah (mendidik dan bertanggung jawab), fathanah (arif dan bijaksana), tabligh (menyampaikan kebenaran). Ini menunjukkan bahwa pendidikan profetik menghendaki pribadi milenial yang toleran, pengasih dan kontra radikaslime.

Etika sosial profetik di atas dapat diaktualisasikan dalam dunia pendidikan kita. Berdasarkan konsep Ki Hajar Dewantara, pendidikan ada tiga yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat. Pendidikan profetik dalam keluarga dapat menjelma dalam bentuk saling mengasihi antara keluarga. Orang tua mendidik anak-anak dengan penuh kasih dan cinta. Bermusyarawah dalam memecahkan persoalan untuk mencapai mufakat dalam keluarga.

Hal-hal yang sederhana di atas mampu menciptakan iklim kelurga yang harmonis dan toleran. Keluarga sebagai fundamen masyarakat berperan penting membentuk karakter dan akhlak milenial. Pendidikan profetik keluarga penting diaktualisasikan untuk mencegah penetrasi radikalisme keluarga. Hal ini agar tidak terulang lagi kasus bom bunuh diri keluarga di gereja Surabaya pada Mei 2018 lalu.

Dalam pendidikan sekolah, nilai-nilai profetik dapat mewujudkan pembelajaran formal dan non-formal. Dalam bentuk formal, guru perlu memberikan mata pelajaran “Adab Sopan Santun” sebagaimana yang sudah diterapkan di pesantren. Dalam bentuk non-formal, guru dapat memberi teladan yang baik kepada murid. Terlebih lagi, guru harus mengajak para murid untuk saling mengasihi antara satu dengan yang lain dan menghargai keberagaman yang ada di sekolah melalui diskusi, musyarawah, dan kerja bakti.

Dalam masyarakat, pendidikan profetik kepada milenial dapat diberikan dengan mudah. Misalnya, para orang tua mengajak milenial untuk silaturrahmi kepada tetangga sekitar walau berbeda keyakinan. Lebih dari itu, mengajak milenial untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan misalnya gotong royong, bakti sosial dan sebagainya. Kegiatan tersebut akan mengkonstrusi pribadi anak yang sosialis, inklusif, dan peka akan persoalan yang nyata dalam masyarakat.

Out put yang diharapkan dari pendidikan profetik ini adalah milenial yang sosialis dan humanis kepada sesama manusia sekalipun berbeda latar belakang. Selain itu, pendidikan ini berupaya membebaskan pikiran dan diri milenial dari belenggu ideologi radikal nan ekslusif (liberasi). Pendidikan ini akan menyelamatkan daya kreatif, inovasi, dan independesi milenial dari kepentingan kelompok radikal. Ditambah lagi, pendidikan ini dapat mendedah potensi keinsafan (kesadaran ketuhanan/transendensi) pada diri milenial atas perilaku yang diperbuat.

Persoalan radikalisme dan dekadensi moral yang menyasar peserta didik kita dapat direspon dengan baik lewat pendidikan karakter yang salah satu bentuknya pendidikan profetik. Pendidikan tidak cukup sebatas transfer of knowledge, tetapi perlu juga transfer of value dan empirik. Pendidikan profetik tidak sebatas transfer ilmu dan nilai tetapi mengajak pelajar milenial untuk terlibat langsung dalam menyelesaikan problema umat. Etika sosial profetik ini dapat ditranfomasikan dalam dunia pendidikan Islam maupuun umum yang ada Indonesia.

Pengembangan pendidikan dengan basis etika sosial profetik bertujuan mengembalikan milenial kepada kodrat kemanusiaan. Milenial merupakan agent of change harus menginternalisasi etika sosial profetik dalam kehidupan nyata dan maya rangka mewujudkan kehidupan yang harmonis dan damai. Pendidikan profetik menghendaki proses humanisasi, liberalisasi dan transendensi pada diri milenial. Dengan demikian, pendidikan profetik berupaya membentuk insan milenial yang humanis, kritis, dan toleran terhadap kenyataan hidup yang beragam.

Facebook Comments