Judul di atas adalah pernyataan dari Nasr Hamid Abu Zaid (alm.), seorang pemikir Islam dari Mesir yang terpaksa hijrah ke Belanda karena iklim intelektual di Negeri Piramida itu yang kurang kondusif bagi diri dan keluarganya. Pernyataan itu ada dalam kitab Dawâirul-Khauf, dengan redaksi Arabnya: Anâ ufakkiru fa-anâ muslim. Mirip gaya dan redaksi yang diucapkan oleh Rene Descartes: Cogito ergo sum: Aku berpikir maka aku ada.
Nasr Hamid, dalam kitab tersebut, sedang ingin menegaskan urgensi dari kebebasan berpikir di dalam Islam yang biasa disebut dengan ijtihad. Nasr Hamid mengingatkan bahwa ijtihad itu, meskipun salah, tetap mendapat pahala atau ganjaran (ajr). Lebih dari itu, hematnya, ijtihad yang salah (al-khatha’) sebenarnya adalah “pengantar” untuk meraih kebenaran (as-shawab).
Nasr Hamid selanjutnya memberikan contoh ijtihad para ulama di bidang teologi atau akidah. Misalnya tentang Allah: Apakah Zat Allah (ad-Dzat al-Ilahiyah) dan Sifat-sifat-Nya (as-Shifat) itu sesuatu yang terpisah atau “menyatu”? Para ulama berbeda pendapat karena proses ijtihad teologisnya berbeda-beda. Tapi uniknya, para ulama tersebut masing-masing tidak ada yang mengingkari eksistensi Allah. Walhasil, ijtihad para ulama yang berbeda-beda tersebut tidaklah membahayakan bagi akidah mereka. Dengan kata lain, mereka sebatas berbeda pendapat, itu saja.
Contoh lain. Ijtihad para ulama tentang status Al-Qur’an: Apakah kitab itu qadim/azaliy ataukah hadits/makhluk (baru)? Ada yang berpendapat qadim; ada juga yang berpendapat hadits. Namun masing-masing ulama, sekali lagi, tetap beriman kepada Allah dan tidak mengingkari keberadaan-Nya. Walhasil, perbedaan ijtihad para ulama sama sekali tidak mengurangi kadar keimanan mereka kepada Allah SWT.
Dalam konteks ini, Nasr Hamid ingin menegaskan bahwa kegiatan berpikir secara bebas tidak mengganggu akidah atau keimanan seseorang. Karena itu, tidak seharusnya diadili dan dihakimi. Sebab, kebebasan berpikir baginya bukanlah aksi kriminalitas (jarimah). Lembaga peradilan (al-qadha’) tidak boleh mengadili dan menghukum seseorang karena aktivitasnya dalam berpikiran bebas. Itulah barangkali sekelumit tentang Nasr Hamid dan latar belakang tentang pernyataannya: Ana ufakkiru fa-ana muslim; aku berpikir maka aku muslim.
Di negeri kita sendiri kebebasan berpikir (ijtihad) masih belum mendapat tempat yang selayaknya. Masih sering terjadi “mihnah intelektual” yang membuat sebagian dari para pemikir kita “tiarap”. Kecurigaan dan rasa takut (entah apa sebenarnya yang ditakuti) yang berlebihan—terutama dari kalangan Islam fundamentalis—menjadi penyebabnya. Padahal, kebebasan berpikir (sejauh dilakukan dengan penuh tanggung jawab) pada hakikatnya adalah ungkapan syukur kepada Allah SWT. Kok bisa disebut ungkapan syukur? Karena si pemikir tadi telah berusaha mendayagunakan akal pikiran yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.
Jadi, pernyataan Nasr Hamid bahwa “Aku berpikir maka aku muslim” pada dasarnya adalah ungkapan yang tulus dan penuh dengan makna yang dalam. Seorang muslim, dalam arti dan makna yang luas, adalah seorang yang “pasrah” dan menerima penuh terhadap segala yang diberikan Tuhan kepadanya. Artinya, dalam konteks ini, Tuhan telah memberi dia karunia akal maka akal tersebut harus digunakan dan dibaktikan secara optimal untuk kebaikan dan kemaslahan umat, bangsa, dan negara, bahkan seluruh umat manusia.
Berpikir bebas berbeda dengan mengkhayal. Berpikir bebas juga tidak sama dengan berpikir ngawur atau asal-asalan seperti yang menimpa sebagian kalangan “liberal” kita. Berpikir bebas pada dasarnya adalah optimalisasi peran dan fungsi akal untuk “sampai” pada apa yang menjadi tujuan dari diciptakannya akal itu sendiri, yakni untuk meraih kebenaran dalam segala sendi kehidupan. Seorang yang malas berpikir berarti ia kufur nikmat dan dengan sendirinya mengurangi peran dan fungsi akal pikiran itu sendiri.
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menganjurkan manusia untuk berpikir. Bahkan tidak sedikit ayat yang akhirannya menggunakan redaksi: afalâ ta’qilûn (apakah kalian tidak menggunakan akal?) atau, afalâ tatafakkarûn (apakah kalian tidak berpikir?). Akhiran ayat demikian ini jelas sebuah ajakan Al-Qur’an agar umat manusia, terutama umat Islam, mau menggunakan akal pikirannya dengan optimal untuk meraih kebenaran.
Kembali ke pernyataan Nasr Hamid di atas, bahwa aktivitas berpikir sejatinya identik dengan keislaman seseorang. Seorang muslim yang tidak atau malas berpikir berarti dia belum “menjadi” muslim yang “sempurna”. Dalam hadis Nabi: Tafakur sebentar lebih baik nilainya daripada ibadah sunnah selama tujuhpuluh tahun. Kenapa bisa begitu? Rahasianya adalah: berpikir (baca: ijtihad) dapat menghasilkan kebenaran, sedangkan ibadah sunnah hanya menghasilkan pahala yang bisa saja suatu saat sirna karena sikap riya, misalnya.
Karena itu, hendaknya umat Islam tidak takut untuk berpikir bebas; hendaknya umat Islam terus mengembara secara intelektual, memasuki “relung-relung gelap” belantara kehidupan, mengarungi samudera makna yang masih belum terjamah, berani menjelajah ke tengah-tengah lautan tak bertepian, dan dengan penuh rasa tanggung jawab dan syukur kepada Tuhan membawa oleh-oleh mutiara kebenaran untuk disuguhkan ke tengah-tengah kehidupan. Wallahu A’lam.