Anggung anggubel sarengat
Saringane tan den weruhi
Dalil dalaning ijemak
Kiyase nora mikani
Ketungkul mungkul sami
Bengkrakan mring mesjid agung
Kalamun maca kotbah
Lelagone dhandhanggendhis
Swara arum ngumandhang cengkok palaran
Serat Wedhatama
Sampai hari ini saya tak habis pikir kenapa padanan kata Arab “qarib” adalah “kurban” dan bukannya “korban.” Apakah pengertian “kurban” dengan “korban” berbeda? Apakah konotasi “korban,” yang sebenarnya sama saja dengan “kurban,” terasa ngenas sehingga kebanyakan dari kita lebih memilih kata yang lebih tak masuk akal daripada kata “korban” yang secara musikalitas lebih mendekati kata “qarib”?
Terkadang kita masih saja memandang bahwa apapun yang bernuansa Arab adalah lebih murni dan lebih “benar” daripada yang non-Arab, termasuk dalam hal bahasa. Tak ada yang pernah mempertanyakan hal ini, termasuk mereka yang mengklaim diri sebagai muslim moderat atau bahkan liberal.
Saya kira secara substansial, dengan berkaca pada kisah Ibrahim dan Ismail, pengertian “kurban” dan “korban” sebenarnya adalah tak berbeda (Islam Nusantara dan Korban Kebangsaan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Ia merupakan laku dalam mendekatkan diri pada sesuatu yang dianggap layak untuk digantungi. Dalam hal ini budaya Jawa memiliki peribahasa yang cukup mewakili: “Jer basuki mawa bea (no pain no gain).” Dalam istilah tarekat Syatthariyah, yang menurut Van Bruinessen merupakan salah satu tarekat yang paling mempribumi, prinsip no pain no gain ini sering disebut dengan istilah lakon dan pitukon.
Baca Juga : Kurban dan Semangat Kemanusiaan
Kelucuan istilah “kurban” yang menandakan masih kuat bercokolnya Arab-orientedadalah ketika nantinya istilah ini diubah ke kata benda. Akankah istilah “kurban” ditulis dengan “pengurbanan” yang jelas sama sekali tak masuk akal dan menyalahi gramatika bahasa Indonesia?
Adakalanya kengototan sikap Arab-oriented menyisakan sesuatu yang tak nyambung, terkesan memaksa, sehingga hasilnya pun akan tampak disonan, seperti pada dunia musik, atau asimetris, seperti pada dunia seni rupa.
Pada masyarakat Indonesia saya kira asosiasi orang ketika membaca ataupun mendengar istilah “kurban” akan membayangkan seekor hewan sembelihan sehingga substansi laku itu, pengorbanan yang senafas dengan “taqarrub,” justru hilang. Tapi seandainya membaca ataupun mendengar istilah “korban” dan “pengorbanan” asosiasi orang akan lekas menghubungkannya dengan suasana kehilangan yang secara positif mengacu pada sikap rela dan ikhlas. Dengan demikian, itulah gunanya prinsip autochthonyyang dalam hal ini berkaitan dengan rasabahasa dan bukannya sekedar bahasa (Pancasila dan Paradigma Autochthony NU, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).
Berlebih menggumuli syari’at
Substansinya tak diketahui
Dalil dasarnya ijma’
Qiyasnya tak menahu
Terantuk rasa lebih akan orang lain
Bertingkah di Masjid Agung
Kalaupun membaca khotbah
Lagunya seperti dhandhanggula
Suara elok berkumandang namun cengkoknya palaran