Benarkah Toleransi Merusak Akidah?

Benarkah Toleransi Merusak Akidah?

- in Narasi
32
0
Benarkah Toleransi Merusak Akidah?

Toleransi masih banyak disalahpahami baik, di kalangan muslim maupun umat agama lain. Di kalangan muslim, masih ada anggapan bahwa toleransi bisa merusak akidah. Persepsi itulah yang menyebabkan sebagian muslim menolak toleransi.

Cara pandang ini cenderung rancu dan tidak merepresentasikan hakikat toleransi yang sesungguhnya. Frank Furedi dalam bukunya On Tolerance; A Defence of Moral Independence, mendefinisikan toleransi sebagai “the conditional acceptance of or non-interference with belief, actions, and practices that one considers to be wrong but still tolerable such they should not be prohibited or constrained”.

Yang artinya kurang lebih; penerimaan atau tidak memberi gangguan terhadap praktik atau keyakinan yang dianggap berbeda dengan cara tidak melarangnya atau memaksanya. Ada setidaknya tiga kaya kunci dalam definisi tersebut, yakni penerimaan, gangguan dan pemaksaan.

Furedi lebih lanjut menegaskan bahwa ada golden rule alias aturan emas dalam memaknai toleransi. Apa saja? Pertama, bahwa toleransi tidak harus mengakui kebenaran atau membenarkan keyakinan liyan yang berbeda. Toleransi hanyalah menerima dan mengakui keberadaan kelompok dengan keyakinan dan iman berbeda.

Artinya, jika muslim toleran dengan umat Kristen misalnya, itu tidak berarti umat Islam harus mengakui atau membenarkan konsep teologis mereka. Muslim hanya perlu mengakui keberadaan dan menjamin hak dasar bagi komunitas Kristen tersebut.

Kedua, toleransi tidak menganggap semua agama itu sama. Justru sebaliknya, sikap toleran itu terbentuk di atas persepsi atau keyakinan bahwa setiap agama pasti memiliki konsep teologis, ritual, dan simbol yang membuatnya unik dan berbeda dengan agama lain. Toleransi adalah sikap menghargai perbedaan dan keunikan setiap agama sebagai basis fundamental yang tidak bisa diubah. Sikap menghargai keunikan dan kekhasan tiap-tiap agama inilah yang menjadi dasar perilaku toleran.

Ketiga, toleransi tidak bertendensi ke arah sinkretisasi atau pencampur-adukan ajaran atau keyakinan agama. Toleransi justru ingin menegaskan klaim kebenaran tiap agama sebagai suatu hal yang sah, sejauh diterapkan dalam wilayah privat.

Artinya, unat beragam yang toleran idealnya meyakini bahwa ajaran agamanya lah yang paling benar. Namun, keyakinan atas kebenaran itu tidak harus diekspresikan dengan membenci atau mengeliminasi keyakinan-keyakinan yang lain.

Bagaimana Toleransi Mampu Menguatkan Spiritualitas?

Golden rule dalam mempraktikkan toleransi ini selama ini cenderung belum banyak dipahami oleh umat Islam dan umat beragama pada umumnya. Alhasil, banyak yang alergi pada toleransi.

Apalagi di kalangan umat Islam dimana muncul persepsi bahwa toleransi dapat merusak akidah. Jika kita mempraktikkan toleransi dengan memperhatikan tiga golden rule di atas, maka akidah kita dipastikan tidak akan rusak.

Jika merujuk pada Alquran, sangat jelas bahwa Islam memiliki keberpihakan pada konsep toleransi yang bersifat universal. Dalam Surat Yunus ayat 99 Allah SWT telah berfirman, “Dan jika Allah menghendaki, niscaya seluruh manusia di dunia ini akan beriman. Maka, hendaklah kamu akan memaksa seluruh manusia untuk beriman?

Menurut Quraisy Syihab dalam Tafsir Al Misbah, ayat ini turun untuk mengingatkan Rasulullah bahwa ia diutus sebagai penyampai risalah. Maksudnya, jangan sampai Rasulullah memaksa seluruh manusia untuk beriman kepada Allah.

Selain Surat Yunus ayat 99, masih banyak ayat lain yang memuat pesan-pesan toleransi. Salah satu yang termasyhur tentu adalah Surat Al Kafirun ayat 6 yang artinya “bagiku agamaku, bagimu agamamu”.

Surat Al Kafirun ayat 6 itu memiliki dimensi makna yang mendalam dan berlapis. Pernyataan lauk dinukum waliyadin, bukanlah deklarasi untuk mengabaikan, apalagi mengeliminasi agama lain. Argumen “lakum dinukum waliyadin” adalah sebuah pernyataan sikap bahwa Islam tidak menoleransi pemaksaan agama. Bahwa setiap individu memiliki hak otonom atas keyakinan agamanya.

Jika ditiliki dalam perspektif filsafat perenial, toleransi justru akan memperkuat bangunan spiritualitas umat beragama. Mengapa bisa demikian? Di dalam filsafat perenial, agama-agama sejatinya adalah jalan menuju Tuhan yang tunggal. Perbedaan agama dalam hal konsep keyakinan, ritual peribadatan, atau simbol keseharian hanyalah aspek luaran dari agama (exoteric).

Di wilayah eksoterik ini, masing-masing agama memang memiliki keunikan dan kekhasan yang seolah menunjukkan bahwa tidak ada titik temu. Di wilayah eksoterik, relasi antar-agama akan diwarnai ketegangan karena adanya garis batas klaim kebenaran yang bersifat eksklusif.

Namun, jika kita masuk ke inti terdalam agama (esoteric), maka segala perbedaan agama itu tidak akan menjadi penghalang bagi agama-agama untuk meraih kesejatian Tuhan. Tersebab, semua umat beragama pada dasarnya menuju Tuhan yang sama, hanya cara dan jalannya saja yang berbeda.

Dengan begitu, umat beragama yang toleran justru memungkinkan untuk lebih fokus dan taat dalam menjalankan laku beragamanya tanpa mengurusi agama lain. Dengan begitu, secara otomatis dimensi spiritualitasnya pun akan kian menguat. Arkian, toleransi tidak akan merusak akidah, alih-alih justru memperkokoh spiritualitas.

Facebook Comments