Survei Pusat Media Damai BNPT yang menyebut adanya gejala intolerasi pasif di kalangan siswa sekolah itu patut dibaca dengan bijak. Di satu sisi, hasil survei itu harus dipahami sebagai semacam peringatan bahwa ada benih-benih intoleransi di sekolah, meski pun sifatnya masih pasif.
Di sisi lain, hasil survei itu juga harus dibaca sebagai sebuah tantangan untuk membenahi sistem pendidikan dan pengasuhan kita. Tujuannya tentu agar ke depan, dunia pendidikan kita steril dari segala bentuk intoleransi, baik pasif apalagi aktif.
Ke depan, tantangan merawat toleransi di dunia pendidikan akan semakin kompleks. Apalagi dengan munculnya generasi baru yang disebut dengan istilah generasi Alpha. Generasi yang lahir mulai dari tahun 2010 ke atas.
Mereka adalah generasi yang lahir ketika dunia digital sudah mengalami perkembangan secara masif. Menjadi wajar, mereka sangat akrab dengan internet dan media sosial. Bahkan, bisa dibilang generasi Alpha adalah digital native, alias manusia digital (homodigitalis).
McKalister (2022) mencirikan generasi Alpha dengan setidaknya empat karatker. Pertama, cenderung bossy, dominan dan suka mengatur. Kedua, punya daya kreativitas dan inovasi yang tinggi. Ketiga, kecanduan teknologi dan nyaris tidak dapat hidup tanpanya. Keempat, bersikap lebih terbuka pada perbedaan gender, ras, suku, agama, warna kulit, atau isu-isu lain seperti orientasi seksual dan sebagainya.
Ciri keempat yang disebut McKalister ini menarik. Generasi Alpha dikenal lebih terbuka pada perbedaan, bahkan di isu yang diaggap sensitif seperti orientasi seksual. Hal ini terkait erat dengan kedekatan generasi Alpha dengan dunia digital. Akses tidak terbatas pada dunia digital membuat gen Alpha terpapar oleh beragam pemikiran dan sudut pandang.
Dengan begitu, gen Alpha secara tidak langsung terbiasa menemukan opini yang berbeda atas setiap isu. Misalnya saja, ketika menggulir (scrolling) media sosial, mereka akan menemukan berbagai perspektif pemikiran, gaya hidup, opini, dan budaya yang berbeda-beda. Aktivitas scrolling itu akan menghadirkan pengalaman yang membentuk kesadaran bahwa manusia itu heterogen.
Sebuah survei yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa anak-anak dari generasi ini lebih terbuka terhadap perbedaan gender, ras, dan budaya dibanding generasi sebelumnya. Pendidikan inklusif, kampanye media sosial, dan peran influencer dalam mengedukasi anak-anak tentang keberagaman membuat mereka lebih mudah menerima perbedaan. Banyak dari mereka yang sejak kecil sudah mengenal konsep inklusivitas dan kesetaraan.
Di Indonesia, penelitian dari SETARA Institute bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang pernah dilakukan terhadap remaja Indonesia terkait toleransi menunjukkan bahwa para remaja memiliki persepsi toleransi yang positif.
Namun, tantangan terbesar dari kebebasan informasi ini adalah bagaimana mereka menyaring dan memahami informasi tersebut. Algoritma media sosial sering kali menciptakan “echo chamber,” yang memposisikan seseorang hanya terekspos pada sudut pandang yang sejalan dengan pandangan mereka. Akibatnya, meskipun mereka terhubung dengan dunia yang lebih luas, pemahaman mereka tentang keberagaman bisa saja terbatas. Mereka mungkin hanya menerima informasi yang mendukung perspektif mereka sendiri tanpa benar-benar memahami perbedaan yang ada.
Tantangan lainnya adalah adanya polarisasi digital media sosial. Ketika anak-anak tumbuh dalam lingkungan digital yang membatasi paparan mereka terhadap perbedaan sudut pandang, toleransi mereka terhadap pandangan yang berbeda bisa berkurang. Dalam banyak kasus, perbedaan pendapat di media sosial berujung pada konflik, bukan diskusi yang membangun sehingga semakin memperkuat polarisasi.
Agar Gen Alpha bisa tumbuh menjadi generasi yang benar-benar toleran, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Mereka membutuhkan pendidikan yang menekankan kritis berpikir. Sekolah dan orang tua perlu mengajarkan anak-anak untuk tidak hanya menerima informasi mentah-mentah, tetapi juga mengembangkan pemikiran kritis. Mereka perlu diajarkan untuk melihat dari berbagai sudut pandang dan memahami konteks sebelum mengambil kesimpulan.
Mereka juga butuh interaksi dengan keberagaman di dunia nyata. Penting bagi anak-anak untuk tidak hanya belajar tentang toleransi melalui media sosial, tetapi juga mengalami langsung keberagaman dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan seperti pertukaran budaya, proyek komunitas, dan diskusi lintas agama dapat membantu mereka mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang keberagaman.
Maka, tanggung jawab ada pada kita semua, orang tua, pendidik, dan masyarakat, untuk membimbing mereka agar tidak hanya sekadar melihat perbedaan, tetapi juga benar-benar memahami dan menghargainya. Dengan pendekatan yang tepat, Gen Alpha bisa tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki toleransi yang lebih matang dan autentik