Urgensi Gaya Parenting Moderat dalam Perspektif Tafsir al-Munīr

Urgensi Gaya Parenting Moderat dalam Perspektif Tafsir al-Munīr

- in Keagamaan
8
0
Urgensi Gaya Parenting Moderat dalam Perspektif Tafsir al-Munīr

Survei Pusat Media Damai (PMD) tahun 2024 menunjukkan sebuah dinamika menarik sekaligus mengkhawatirkan di lingkungan pendidikan Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun mayoritas siswa secara eksplisit menolak gagasan bahwa Indonesia seharusnya diatur oleh sistem agama tertentu, mereka merasa lebih nyaman bergaul dengan teman seagama, baik dalam interaksi langsung maupun di media sosial. Fenomena tersebut menyiratkan adanya gejala intoleransi pasif bukan karena kebencian terhadap pihak yang berbeda, melainkan karena kenyamanan psikologis dalam eksklusivitas kelompok.

Intoleransi pasif bukan sekadar soal pergaulan, tetapi cerminan dari cara berpikir yang terbentuk sejak dini. Ini adalah garis demarkasi halus yang jika tidak dikelola secara bijak, dapat menjadi jalan masuk bagi narasi ekstrem. Generasi muda yang tumbuh dalam eksklusivisme sosial lebih rentan membatasi ruang empati dan dialog, bahkan dalam kehidupan yang plural seperti Indonesia. Maka, pembentukan sikap inklusif perlu dimulai dari akar, yaitu keluarga, khususnya dalam bentuk pola asuh atauparenting.

Untuk merespons gejala eksklusivitas ini, kita perlu menengok kembali nilai-nilai pendidikan Islam dalam pengasuhan anak. Tafsiral-Munīrkarya Wahbah az-Zuhaili menjadi salah satu rujukan penting. Dalam karyanya, az-Zuhaili memaparkan bahwa relasi antara orang tua dan anak dalam Al-Qur’an bersifat menyeluruh dan mendalam mencakup dimensi biologis, psikologis, sosiologis, hingga spiritual. Relasi ini tidak berhenti saat anak dewasa, melainkan berlanjut sepanjang kehidupan dan bahkan setelah kematian.

Az-Zuhaili menjelaskan bahwa anak adalah amanah dari Allah SWT. Oleh karena itu, pengasuhan bukan hanya soal menyediakan kebutuhan fisik, melainkan juga tanggung jawab moral dan spiritual orang tua dalam membentuk karakter anak. Nilai-nilai seperti kasih sayang, dialog terbuka, keteladanan moral, dan pemberian ruang berpikir menjadi fondasi dalam pola asuh Islam yang inklusif.

Penting untuk membedakan antara pengasuhan yang moderat dan pengasuhan yang dogmatis. Parenting moderat tidak menanamkan doktrin kebencian atau superioritas terhadap kelompok lain, tetapi membekali anak dengan kemampuan berpikir kritis, memahami perbedaan, dan menyikapi keberagaman dengan adab.

Hal ini selaras dengan teoriattachmentJohn Bowlby yang menekankan pentingnya kelekatan emosional antara anak dan orang tua sebagai pondasi dalam membentuk kepribadian sosial anak (Bowlby, 1988). Ketika anak merasa aman dan dihargai di lingkungan keluarga, mereka akan lebih terbuka terhadap dunia luar, termasuk terhadap mereka yang berbeda keyakinan atau latar belakang.

Dalam Islam, kisah Luqman al-Hakim adalah contoh teladan parenting yang moderat. Dalam surah Luqman ayat 13–19, kita melihat bagaimana Luqman mengajarkan nilai-nilai keimanan, akhlak, dan etika sosial kepada anaknya melalui pendekatan yang lembut, rasional, dan penuh hikmah. Ia tidak memaksa, melainkan mengajak. Gaya ini sesuai dengan apa yang disebut Diana Baumrind sebagaiauthoritative parenting yakni pola asuh yang seimbang antara disiplin dan kasih sayang, otoritas dan kebebasan.

Sikap eksklusif siswa dalam pergaulan, seperti yang terungkap dalam survei PMD, bisa jadi berasal dari pola komunikasi di rumah yang kaku, tidak memberikan ruang bagi dialog lintas perspektif. Jika anak-anak hanya dibesarkan dengan narasi bahwa kebenaran mutlak hanya milik kelompoknya, maka sangat mungkin mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang menolak perbedaan secara tidak sadar meski tidak dalam bentuk kekerasan.

Padahal, dalam masyarakat majemuk, toleransi tidak cukup hanya dengan tidak menyakiti. Toleransi membutuhkan keterlibatan aktif dalam memahami dan menghormati keberagaman, termasuk bersedia berdialog, berteman, dan bekerja sama dengan yang berbeda. Di sinilah pentingnya gaya parenting yang mengajarkan anak untuk melihat perbedaan sebagai rahmat, bukan ancaman.

Parenting dalam perspektif Islam menyebutkan bahwa pengasuhan yang mengedepankan kasih sayang, hikmah, dan musyawarah akan melahirkan generasi yang mampu membangun hubungan sosial yang sehat di tengah masyarakat plural. Hal ini sekaligus menghindarkan anak dari paparan radikalisme yang seringkali tumbuh dari lingkungan eksklusif dan sempit dalam berpikir.

Tantangan saat ini bukan hanya pada ruang fisik, tetapi juga ruang digital. Siswa yang merasa “lebih nyaman” dengan teman seagama di media sosial mencerminkan terbentuknya sekat-sekat digital yang bisa menjadi ruang gema echo chamber. Di dalam ruang ini, anak hanya terpapar pandangan yang seragam, yang akhirnya memperkuat bias dan mempersempit wawasan.

Peran orang tua dalam mendampingi aktivitas digital anak sangat krusial. Moderasi digital harus menjadi bagian dari parenting di era modern. Orang tua perlu mengajak anak untuk menyaring informasi, membiasakan tabayun, serta memperkenalkan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang yang memberi kontribusi bagi kemanusiaan.

Keluarga merupakan benteng pertama dalam membentuk karakter dan pandangan hidup anak. Gaya parenting yang moderat seperti dicontohkan dalam kisah-kisah Qur’ani dan didukung oleh teori-teori psikologi modern menjadi kebutuhan mendesak dalam merespons gejala intoleransi pasif di kalangan siswa.

Dengan kembali menghidupkan nilai-nilai pengasuhan Islam yang penuh cinta, adil, terbuka, dan bijak, kita bisa membangun generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara sosial dan spiritual. Generasi seperti inilah yang mampu menjaga Indonesia tetap utuh dalam keberagaman.

Facebook Comments