Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, budaya, dan bahasa yang luar biasa. Di atas fondasi perbedaan inilah bangsa ini dibangun. Namun, harmoni sosial yang menjadi dambaan bersama tidak terwujud begitu saja. Ia membutuhkan komitmen dan kesadaran kolektif akan pentingnya membangun toleransi secara terus menerus.
Sayangnya, ancaman terhadap toleransi tidak hanya datang dari tindakan-tindakan yang terang-terangan seperti ujaran kebencian atau kekerasan berbasis identitas. Ada ancaman lain yang lebih senyap namun sangat berbahaya, yakni intoleransi pasif. Fenomena ini bisa menjadi bom waktu yang, jika tidak diantisipasi sejak dini, dapat menggerus harmoni sosial.
Intoleransi pasif merupakan bentuk penolakan terhadap perbedaan yang tidak ditunjukkan secara eksplisit. Ia muncul dalam sikap diam, pembiaran, atau bahkan ketidakpedulian terhadap diskriminasi yang dialami oleh kelompok lain. Contohnya dapat terlihat dalam sikap enggan berinteraksi dengan mereka yang berbeda keyakinan, ketidaknyamanan melihat simbol keagamaan yang bukan miliknya, atau diam ketika terjadi pelarangan pendirian rumah ibadah kelompok minoritas terjadi di depan mata mereka.
Karena tidak terlihat sebagai tindakan langsung yang menyakiti, intoleransi pasif sering kali tidak dianggap sebagai masalah. Padahal, dalam jangka panjang, ia bisa menjadi bom waktu yang dapat menciptakan konflik horizontal yang lebih luas di masyarakat.
Sumber munculnya intoleransi pasif tidak tunggal. Salah satu penyebab utama adalah sistem pendidikan yang belum sepenuhnya inklusif. Pendidikan yang terlalu fokus pada capaian akademik dan minim dalam penanaman nilai-nilai kebhinekaan membuat siswa tumbuh tanpa kepekaan terhadap perbedaan. Bahkan dalam beberapa kasus, buku pelajaran atau guru justru memperkuat stereotip tertentu terhadap kelompok lain. Hal ini diperparah dengan minimnya interaksi lintas identitas di lingkungan sekolah, yang membuat siswa terbiasa hidup dalam homogenitas dan merasa canggung bahkan takut terhadap perbedaan.
Media sosial juga berkontribusi besar dalam memperkuat intoleransi pasif. Algoritma media sosial menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi dan keyakinan pengguna, menciptakan ruang gema yang mengukuhkan pandangan sempit dan menutup ruang dialog.
Ketika seseorang hanya berinteraksi dengan yang sepemahaman saja, ia cenderung melihat perbedaan sebagai ancaman. Di sinilah intoleransi pasif tumbuh: tidak dalam bentuk ujaran kebencian, tetapi dalam bentuk pembatasan interaksi, penghindaran, dan eksklusivisme yang semakin mengakar pada diri seseorang. Yang semakin hari semakin tumbuh subur.
Bahaya dari intoleransi pasif adalah munculnya sikap permisif terhadap tindakan diskriminasi. Ketika seseorang merasa tidak masalah jika rumah ibadah kelompok minoritas ditolak oleh warga mayoritas, atau ketika ada perasaan bahwa hanya kelompok tertentu yang layak menjadi pemimpin, maka diskriminasi akan menjadi bagian dari kebiasaan sosial yang tidak dipertanyakan, alias dinormalisasi. Dalam situasi ini, intoleransi tidak lagi dipandang sebagai masalah, melainkan sebagai sesuatu yang “wajar” dalam kehidupan sosial.
Lebih lanjut, secara tanpa disadari intoleransi pasif juga dapat menjadi pintu masuk bagi radikalisasi. Ketika seseorang sudah terbiasa menoleransi ketidakadilan dalam diam, maka ia lebih mudah menerima narasi-narasi ekstrem yang membenarkan tindakan kekerasan atas nama identitas atau keyakinan. Perpindahan dari intoleransi pasif menuju intoleransi aktif adalah proses yang sangat mungkin terjadi, terutama ketika individu tersebut merasa didukung oleh lingkungan sosialnya yang juga pasif terhadap tindakan diskriminasi yang ada.
Oleh karena itu, langkah pencegahan harus dilakukan sejak dini. Pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai toleransi. Sekolah perlu menciptakan ruang aman untuk dialog, interaksi antaragama dan antarbudaya, serta memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya menghormati keberagaman yang ada.
Intoleransi pasif bukanlah masalah kecil. Ia adalah benih dari banyak konflik besar yang pernah dan akan terjadi. Karena itu, membangun budaya toleransi tidak cukup hanya dengan mengutuk kekerasan dan ujaran kebencian. Kita juga harus berani mengkritisi sikap diam, eksklusif, dan apatis yang menyuburkan tindakan diskriminasi secara sistemik. Hanya dengan kesadaran kolektif dan aksi bersama sejak dini, kita bisa mencegah bom waktu ini meledak dan merusak fondasi keberagaman yang telah dibangun dengan susah payah oleh kita.