Bisakah Kita Menjadi Muslim Taat Sekaligus Nasionalis Sejati?

Bisakah Kita Menjadi Muslim Taat Sekaligus Nasionalis Sejati?

- in Narasi
2318
0
Bisakah Kita Menjadi Muslim Taat Sekaligus Nasionalis Sejati?

Belakangan ini saya menemukan kecenderungan orang yang hanya belajar agama melalui buku-buku/sumber terjemahan saja. Akibatnya, selain ia memiliki pandangan dan pengetahuan yang sempit, ia juga sering menilai sesuatu secara hitam-putih. Salah satu kelompok yang berada dipsosisi ini adalah, yang meyakini pandangan bahwa nasionalisme tidak ada atau bertentangan dengan agama.

Di Indonesia, kelompok yang menyuarakan bahwa nasionalisme bertentangan dengan agama adalah orang Islam yang belum tercerahkan. Saya sebut demikian karena argumentasi yang dibangun terkait Islam dan nasionalisme itu bertentangan sangat lemah dan tak berdasar sama sekali.

Pertama, secara teoritik, nasionalisme hanya menyandarkan pada persatuan dengan sentimen-sentimen emosioanal semata, bukan didasarkan pada watak intelektual yang jernih. Dengan demikian, nasionalisme membutuhkan perangkat-perangkat untuk membentuk suatu identitas nasional, seperti pahlawan, lagu nasional, bendera, dan sejenisnya.

Jadi, menurut penantang konsep nasionalisme dalam Islam mengatakan bahwa simbol-simbol nasionalisme seperti bendera dan lain sejenisnya itu menyebabkan seseorang menghamba pada simbol tersebut sehingga menegasikan identitas keumatan atau keagamaan.

Kedua, secara praktik, nasionalisme merupakan biang keledai kehancuran persatuan dan kesatuan umat Islam di seluruh dunia. Mereka lagi-lagi menuduh bahwa adanya nasionalisme terhadap negara masing-masing, menyebabkan terhalangnya persatuan umat Islam. Sehingga, kelompok ini ketika mengkritik dan mengharamkan konsep nasionalisme, mereka sembari “mempromosikan” ide khilafah. Bahwa solusi atas kondisi ini adalah menegakkan khilafah.

Kita tentu tidak anti atau mengharamkan khilafah. Yang patut kita persoalkan adalah konteks Indonesia yang plural, menerapkan ide khilafah kurang tepat. Apalagi para founding father kita yang di dalamnya banyak ulama telah bersepakat tentang bentuk negara ini. Hal ini juga menginagt sejarah Indonesia bahwa masing-masing agama besar yang dianut oleh bangsa Indonesia telah memberikan saham untuk membangun karakter bangsa Indonesia. Jadi, ide khilafah untuk Indonesia tidak cocok. Karena banyak hal. Salah satunya adalah potensi bersar lahirnya disintegrasi.

Nabi Juga Seorang Nasionalis

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi nasiolisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Masih menurut KBBI, definisi nasionalisme yang kedua adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.

Itulah nasionalisme. Jika nasionalisme itu sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, lantas ada muncul pertanyaan: mungkinkah kita bisa menjadi muslim taat, sekaligus nasionalis sejati secara bersamaan? Jawabannya jelas, yakni bisa. Bahkan, Nabi Muhammad Saw sesungguhnya adalah seorang nasionalis. Ini tercermin dalam sebuah hadis berikut:

Nabi pernah menyatakan (demikian) pada negeri Mekah, “(Mekah, negeriku), indah betul dirimu. (Mekah), engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekah tak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini, Mekah (HR Tirmidzi) .

Menurut Imam Tirmidzi, kualitas hadis ini hasan shahih. Jadi, jika ada yang mempertanyakan keabsahan hadis ini, jawabannya sudah terjawab. Dengan kualitas tersebut, hadis ini cukup kuat (bisa) menjadi landasan dalam beragama (Islam).

Jadi, argumentasi yang dibangun oleh kelompok yang menentang adanya nasionalisme sangat lemah, dari segi apa-pun. Justru yang kuat adalah, bahwa Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme. Seorang Muslim, secara bersamaan bisa menjadi seorang agamis nan nasionalis. Banyak tokoh Muslim bahkan ulama besar yang menjadi seorang nasionalis-agamis.

Para tokoh Islam Indonesia, seperti Hos Cokroaminoto, Mas Mansoer, dan laiinya adalah tokoh nasionalis-agamais, yang memberikan ruh Islam dalam nasionalisme sehingga nasionalisme itu benar-benar dapat selaras dengan nafas Islam. Dr. Zaid Abdul Karim dalam bukunya Hubbul Wathan, menulis: “Nasionalisme adalah tanggung jawab individu terhadap negaranya yang bersesuaian dengan ajaran Islam”.

Dari segi akhlah, nasionalisme juga tak ada kontradiksi. Menurut kaca mata ini, nasionalisme merupakan bentuk tanggung jawab manusia karena merupakan bagian dari keterikatan dan tanggungjawab manusia pada lingkungan sekitar, pada bangsa dan negara tertentu di sekelilingnya.

Nasinalisme itu mengajarkan persamaan dan persaudaraan. Demikian juga dengan agama, jadi tak ada kontradiksi antara nasionalisme dan agama. Hanya orang-orang yang belum tercerahkan saja yang mengharamkan nasionalisme. Ahli Tafsir Indonesia, Quraish Shihab, menegaskan: salah satu inti jaran agama itu adalah kesatuan. Bermula dari keyakinan tentang maha esanya pada kesatuan kemanusiaan, kesatuan berbangsa, bahkan kesatuan jadi diri manusia.

Facebook Comments