Ekspektasi Demokrasi: Pancasila Sakti, Radikalisme Sakit

Ekspektasi Demokrasi: Pancasila Sakti, Radikalisme Sakit

- in Narasi
1422
1
Ekspektasi Demokrasi: Pancasila Sakti, Radikalisme Sakit

Sejak tanggal 23 Sptember 2018 ini, Pemilu 2019 sudah memulai tahapan kampanye. Kampanye yang diperbolehkan masih bersifat terbatas. Deklarasi kampanye damai dilaksanakan di pusat maupun semua daerah. Hadirnya kampanye damai yang sehat dan bermartabat menjadi tanggung jawab semua pihak, khususnya peserta Pemilu 2019.

Di akhir bulan September dan awal Oktober, Bangsa Indonesia selalu diramaikan terkait historiografi G-30S-PKI dan Hari Kesaktian Pancasila. Lepas dari pro dan kontra yang terjadi, Pancasila mesti dijaga dan diaktualisasikan kesaktiannya. Salah satunya harus ditunjukkan oleh peserta Pemilu 2019, baik caleg dan capres. Rakyat tinggal menapis mana caleg dan capres pancasilais yang mesti dipilih. Tujuannya agar bibit radikalisme di negri ini sakit hingga punah.

Permasalahan Sosial

Kekerasan atau tindakan radikal masih menghantui Indonesia. Kasus-kasus yang menyertai tentu kompleks dan tidak bisa disikapi hanya pada wilayah hilir. Indonesia mesti terus menyupayakan deradikalisasi di semua lini. Pemerintah dan pihak lain penting menyikapi dan mencari solusi setiap potensi radikalisme secara komprehensif dan sistematis mulai dari identifikasi hulu masalah dan menyentuh seluruh aspek. Literasi deradikalisasi mesti sampai kepada semua komponen bangsa. Caleg dan capres wajib menjadi garda depan melakukan literasi selama masa kampanye.

Selain terkait ideologi, kekerasan atau konflik atau radikalisme diawali dengan maraknya kriminalitas, furstasi sosial, lemahnya penegakan hukum (low enforsement), dan lainnya. Semua ini bak benang kusut yang mesti diurai satu per satu.

Kriminalitas adalah bentuk penyakit sosial kronis. Kartasaputra (2011) mengungkapkan penyakit sosial timbul karena berbagai penyimpangan terhadap norma masyarakat. Ditambahkan bahwa penyimpangan tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama karena tidak adanya figur yang bisa dijadikan teladan dalam memahami dan menerapkan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kedua, pengaruh lingkungan kehidupan sosial yang tidak baik. Ketiga adalah proses sosialisasi yang negatif. Terakhir karena merasakan adanya ketidakadilan.

Fenomena penyakit sosial dapat mengarah pada frustasi sosial. Indonesia pada tahun 2017 dihadang masalah frustasi sosial. Beberapa faktor yang memengaruhi frustrasi sosial, antara lain faktor kemiskinan struktural, lonjakan pengangguran akibat sempitnya lapangan kerja, dan ketimpangan sistem pendidikan (Sasongko, 2016).

Penyakit dan frustasi sosial menjadi pemicu munculnya tindakan brutal, kasus-kasus kekerasan, dan penghakiman massal. Penghakiman massal atau main hakim sendiri merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Undang-Undang no. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan 33 ayat (1) menjelaskan bahwa pelaku kriminal atau pelanggar hukum juga memiliki HAM. Dengan demikian, perbuatan main hakim sendiri adalah melanggar HAM.

Pelaku penghakiman massal juga terancam sejumlah pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut antara lain, pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, pasal 170 KUHP tentang Kekerasan, dan pasal 406 KUHP tentang Perusakan. Ancamannya adalah pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Jika korban tewas, maka pelaku diancam hukuman penjara sampai 12 tahun.

Data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) tahun 2014 menunjukkan dampak dan sebaran peristiwa tidak peduli hukum. Kasus main hakim sendiri telah menewaskan 282 orang , 1.032 mengalami cedera, dan 422 bangunan rusak. Kejadian yang paling sering menjadi pemicu adalah pencurian atau penjambretan.

Aktualisasi Pancasila Sakti

Langkah cepat dan peta jalan dalam mengantisipasi permasalahan sosial agar tidak terulang mesti segera ditempuh. Pancasila mesti menjadi dasar dan ruh ideologisnya. Beberapa pendekatan dan strategi penting diperhatikan.

Pertama adalah membudayakan laku nirkekerasan. Budaya ketimuran kita mengajarkan adanya musyawarah dan penghargaan atas rasa kemanusiaan. Laku nirkekerasan menjadi penciri budaya tersebut. Pendidikan sejak dini penting menguatkan budaya nirkekerasan. Pendekatan keagamaan mesti menjadi strategi fundamental bahwa agama melarang aksi kekerasan yang tidak manusiawi.

Kedua adalah menunjukkan keteladanan pemimpin. Perangai pemimpin di setiap level akan senantiasa diamati hingga diikuti secara tidak sadar oleh publik. Elit-elit yang gemar mempertontonkan kebencian, emosi kasar, hingga perilaku mengarah kekerasan penting mengurangi hingga menghindarinya. Pemimpin mesti menjadi teladan yang tegas, taat hukum, dan berjiwa sosial tinggi.

Ketiga adalah membuktikan keadilan pemerintah. Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat menjadi faktor penting dalam memicu frustasi sosial hingga penghakiman massal. Pemerintah mesti membuktikan adanya ketegasan penegakan hukum serta minimalisasi ketimpangan sosial ekonomi. Alih-alih menyikapi kritik, pemerintah jangan sampai justru terjebak dengan frustasi diri. Balasan pembungkaman kebebasan menjadi alarm yang mesti dihindari.

Keempat adalah sosialisasi gerakan sadar hukum secara masif. Aparat hukum mesti menjadi pihak yang benar-benar terpercaya dan tidak justru menjadi bagian yang bermasalah. Gerakan sadar hukum mesti digencarkan. Tidak hanya sebatas sosialisasi regulasi, namun sistematika penindakan hukum mesti diberikan. Alur pelaporan mesti dipermudah melalui berbagai media berbasis IT.

Penegak hukum mesti memberikan jaminan sigap dan profesional dalam setiap penanganan pelaporan. Praktik-praktik di depan mata dan menjadi rahasia umum mesti tetap ditindak tanpa menunggu ledakan masalah atau laporan publik. Patroli keamanan mesti terus dilakukan aparat bagaimanapun kondisi suatu wilayah. Teknologi pemantau seperti CCTV dapat diperbanyak guna mengantisipasi minimnya SDM aparat.

Kelima adalah meminimalisasi pengaruh media-media yang menampilkan kekerasan. Media televisi, media sosial, dan lainnya yang memuat konten kekerasan mesti dilarang penayangannya.

Seluruh sektor dan institusi mesti bersinergi guna mengantisipasi dan meminimalisasi. Kondusifitas sosial menjadi penciri pencapaian tingkat keadilan dan penegakan hukum, hingga mengantarkan kesejahteraan rakyat.

Facebook Comments