Di usianya yang sudah menginjak 95 tahun ini, Nahdlatul Ulama (NU) bisa dibilang cukup sukses menunjukkan pada dunia sebagai ormas Islam yang teguh pendirian menjaga Islam dan kebangsaan dari virus-virus intoleransi dan rasisme. NU sangat tegas dalam hal ini. Komitmen Islam dan kebangsaannya tak perlu diragukan.
Namun, tentu saja komitmen NU mengupayakan imunitas Islam Indonesia dari ancaman intoleransi dan rasisme itu harus senantiasa dikembangkan. Sejauh ini, upaya NU untuk menghalau ancaman intoleransi dan rasisme itu terbilang sangat berjaya di dunia nyata. Jumlah anggota dan pengurus NU yang sangat banyak dan tersebar di hampir seluruh penjuru Indonesia, menjadi modal yang sangat besar untuk menekan laju ancaman intoleransi dan rasisme di dunia nyata. Sayangnya, meski terbilang sukses membentengi Islam dan kebangsaan dari virus intoleransi dan rasisme, NU masih cukup kelimpungan menghadapi laju persebaran spirit intoleransi dan rasisme di media sosial.
Di Twitter misalnya, hampir setiap pagi di setiap harinya, kelompok-kelompok intoleran, tidak pernah bosan melambungkan tagar-tagar yang memanfaatkan sentimen Islam untuk melegitimasi gerakan mereka. Meskipun kadang cuitan-cuitannya berisikan kalimat-kalimat sederhana, seperti nasihat-nasihat untuk mengingat mati atau sekedar kata Allahu Akbar, tapi tagar-tagarnya jelas sangat provokatif, seperti #MariPerjuangkanSyariatIslam, #IslamPastiMenang, dst.
Melambungnya tagar-tagar kelompok-kelompok intoleran yang menjadi trending topik di setiap pagi dan hampir setiap hari itu, menunjukkan secara jelas bahwa ancaman intoleransi di Indonesia masih belum selesai. Melihat fenomena di media sosial yang menunjukkan bahwa kelompok intoleran masih terus aktif berkampanye, bahkan tak jarang memuncaki trending topik di Indonesia, rasanya NU sebagai garda terdepan dalam mengawal Islam dan kebangsaan dari virus intoleransi dan rasisme harus semakin melebarkan sayap perjuangannya. NU harus lebih aktif lagi mengampanyekan Islam rahmatan lil alamin di platform-platform media sosial. Jangan sampai, kelompok-kelompok intoleran itu terus menunjukkan kejayaannya di media sosial tanpa tandingan yang berarti.
Memang sampai saat ini pola fundamental dari perekrutan kalangan ekstremis masih tidak banyak berubah atau masih menjadikan model tatap muka sebagai moda utamanya, tetapi, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, mereka turut aktif mengampanyekan pemahaman mereka di media sosial. Pola rekrutmen secara langsung atau secara luring masih terus mereka lakukan dan itu menjadi pola yang mereka andalkan.
Jika memang ada perubahan drastis sebagai akibat dari kampanye kalangan intoleran di media sosial, semestinya orang-orang Indonesia yang tertarik untuk menjadi tentara ISIS itu menjadi semakin banyak. Namun, fakta lapangan membuktikan bahwa tentara ISIS asal Indonesia, menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia (BNPT) tahun 2015 ada sekitar 800 orang. Jumlah 800 orang ini masih belum cukup jelas, karena dari sejumlah itu hanya 284 orang yang teridentifikasi secara jelas nama-namanya, 516 selebihnya masih tidak jelas. Itu artinya 516 orang dari 800 orang itu merupakan figur yang tidak jelas.
Jumlah tentara ISIS asal Indonesia ini sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah tentara ISIS yang berasal dari Belgia, Prancis, Inggris, atau Denmark, padahal secara populasi, jumlah muslim di Indonesia itu jumlahnya jauh di atas muslim di negara-negara tersebut. Fakta ini secara nyata menunjukkan bahwa betapapun kalangan intoleran juga memanfaatkan media sosial sebagai media kampanyenya, model perekrutan mereka masih tetap mengandalkan model perekrutan lama, yaitu model perekrutan face to face.
Namun, walaupun model kampanye media sosial kalangan intoleran itu tidak memberikan pengaruh signifikan pada pola rekrutmen mereka, ada fenomena baru yang muncul akibat kampanye media sosial mereka. Fenomena baru itu adalah munculnya peran propaganda individual. Maksud dari peran propaganda individual ini adalah bahwa pesan-pesan kalangan ekstremis itu berhasil menjangkau semakin banyak orang dan memberikan mereka pengertian untuk menjadi bagian dari ISIS atau HTI yang menghendaki berdirinya kembali kekhalifahan, walaupun di atas kertas mereka tidak dibai’at sebagai anggotanya. Ini terlihat dari munculnya fenomena orang-orang Indonesia yang mendukung pesan kehidupan Islam yang murni yang digaungkan oleh ISIS, meskipun mereka tidak berangkat ke Suriah. Artinya, potensi-potensi pemahaman intoleran itu mulai banyak menjangkau individu-idnividu di Indonesia.
Untuk itu, kampanye kontra narasi intoleran di media sosial menjadi mutlak diperlukan. Tak perlu muluk-muluk menghadirkan argumen-argumen yang berat untuk menghalau laju intoleransi dan rasisme di media sosial, cukup kalimat-kalimat santai yang remeh dan menyenangkan, tetapi arah spiritnya jelas melawan intoleransi dan rasisme. Di era media sosial seperti sekarang ini argumen-argumen berat yang elitis itu kurang laku, karena memang saat ini adalah era matinya kepakaran. Yang lebih banyak didengar atau dibaca publik itu bukanlah argumen-argumen berat para pakar, melainkan ucapan-ucapan remeh mereka yang bukan pakar tapi popularitasnya tinggi.
Akhirnya, dalam momentum harlah yang ke-95 ini, NU mestinya tetap mempertahankan sekaligus mengembangkan konsistensinya dalam melawan narasi-narasi intoleran dan rasis. Tidak hanya menguasai narasi lawan intoleransi dan rasisme di dunia nyata, melainkan juga di media sosial.