Jihad Literasi Digital Menangkal Radikalisme

Jihad Literasi Digital Menangkal Radikalisme

- in Narasi
1390
0
Jihad Literasi Digital Menangkal Radikalisme

Sejak berkontestasinya otoritas agama dengan otoritas ektremisme dan otoritas konvensional, kegayutan agama menjadi makin guncang. Apalagi ditambah canggihnya perangkat teknologi yang saling bersahutan dengan subyek-subyek kehidupan modern, menambah efek dan dampak serius yang semakin dalam.

Susur galur produksi paham ektremisme agama mutakhir bersarang di media sosial. Media sosial dianggap jalan yang mudah dan murah dan juga aman untuk menselacarkan paham-paham ektrem oleh kelompok radikal. Maka dari itu banyak kasus di Indonesia bahkan dunia, pemuda atau masyarakat awam terpapar paham ekstremisme berawal dari media sosial.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jendral Suhardi Alius mencatat, bahwa media digital dijadikan sarana untuk menyebarluaskan paham radikal, merekrut, serta kaderisasi anggota kelompok teroris, dan media dijadikan alat komunikasi mereka (Kompas,15/5/2019). Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informasi menyebutkan, sepanjang 2018, hampir 500 situs web radikal diblokir. Ironisnya, “patah satu tumbuh seribu”, situs web baru mereka bermunculan (Kompas,17/5/2019).

Brouce Hoffman (2006), pengamat terorisme internasional itu mencatat dampak kemajuan teknologi komunikasi dan informasi juga menyebabkan tersebarnya paham radikalisme-terorisme sejak pertengahan 1990-an. Internet dimanfaatkan sebagai media yang efektif dan cepat, untuk menyebarluaskan informasi dan ideologi.

Dari sini jelas bahwa media digitaldapat memberikan keuntungan bagi kelompok teroris dan radikal. Ada tiga keuntungan menurut Angel Damayanti. Pertama, media daring dapat dijadikan sebagai sarana untuk menunjukkan eksistensi. Semua informasi, terkait program kerja, ide dan aktivitas mereka dapat ditampilkan sehingga dapat menggalang dukungan masif dari luar.

Kedua, sebagai alat propaganda dan perekrutan. Media digital dapat memicu munculnya self-radicalization, tempat orang-orang baru belajar agama mencari informasi tentang agama dilaman daring dan tertarik pada materi-materi radikal. Ketiga, media daring sebagai rantai komando, kontrol, sekaligus distribusi informasi secara internal untuk anggota dan pendukungnya atau mencari sasaran pada yang baru dan awam (Angel Damayanti, Kompas, 27/5/2019).

Fakta yang menarik sekaligus memiriskan adalah bahwa kelompok radikal yang pertama kali berhasil memanfaatkan media daring secara luas untuk kepentingan mereka adalah Zapatistas National Liberation Army (EZLN) dari Chiapas. Organisasi ini dianggap pemberontak oleh Preside Meksiko, Ernasto Zedillo.

Keberhasilan EZLN ini, kemudian diikuti oleh kelompok Macan Tamil (Sri Lanka) yang mengoperasikan sejumlah situs, seperti TamilNet.com dan www.eelam.net, www.eelamweb.com, www.camtam.com, dan www.canadatamil.net. Jaringan ini dioperasikan dari luar Sri Lanka, yaitu Inggris, Norwegia, Kanada, dan Australia. Jaringan ini berhasil mengumpulkan dan memobilisasi dukungan dari 450.0000 anggota kelompok Macan Tamil di sejumlah negara.

Kemudian, organisasi teroris dan radikal yang lebih modern, seperti Hezbollah, Lashkar-e-Taiba, Al-Qaeda, dan Islamic State (IS), memiliki situs dalam berbagai macam bahasa: Inggris, Prancis, Arab, dan Indonesia. Situs-situs inilah yang menjadi rujukan bagi para teroris dalam mempelajari agama dan pencarian jati diri (Noor Huda Ismail, Kompas, 16/5/2019).

Jadi, ketika dunia digital dijadikan pencarian jati diri dan ajaran agama, maka saat itulah kelompok radikal memanfaatkan peluang untuk memamaparkan ideologi atau pemahamannya. Sesuai contoh diatas ini sangat efektif hasilnya.

Jika boleh menyebut ada banyak contoh yang telah terjadi dan itu berdampak buruk pada kehidupan sosial keummatan. Misalnya peledakan bom pada empat kereta api di tiga stasiun Madrid, Spanyol, 11 Maret 2004, yang menewaskan 191 orang, 2.000 cedera, ini dilakukan oleh mahasiswa yang belajar merakit bom lewat internet secara autodidak dan mandiri. Di Indonesia, Ivan Armadi Hasugin (18) pelaku rencana peledakan bom di Gereja Santo Joseph, Medan (28/8/2016), Sultan Ahimzyah (22) penyerangan terhadap polisi di Tanggerang (20/10/2016), dan Haft Saiful Rasul, bocah usia 13 tahun asal Bogor harus tewas saat perang di Suriah dalam memperjuangkan tegaknya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Semuanya terpapar akibat media sosial.

Fenomena itu membuktikan bahwa generasi milenial yang mencari jati diri dan agama tersebut telah dimanfaatkan sebagai aset berharga. Dijadikan senjata pembunuh paling efektif, kreatif tapi berharga murah oleh kelompok radikal. Maka dengan bukti-bukti di atas, sudilah kita hari ini dan seterusnya berkomitmen memberikan counter narasi dan pengajaran atau pencerahan pada seluruh komponen umat di media sosial. Kendati yang dibutuhkan pada masa kini adalah memperkuat teknologi siber yang kuat, bermuatan situs-situs pencerah dan mengembangkan sebuah program yang mengarah pada penyadaran filosofi bangsa dan agama, meningkatkan rasa kebangsaan-keberagaman dan terhadap perbedaan.

Facebook Comments