Literasi Beragama: Membangun Nalar Positif Menangkal Hoax

Literasi Beragama: Membangun Nalar Positif Menangkal Hoax

- in Narasi
1630
0

Menurut data yang dikeluarkan oleh UNESCO, menyebutkan bahwa Indonesia berada pada urutan kedua dari bawah soal literasi. Minat baca masyarakat Indoenesia hanya sebesar 0,001%, yang dapat diartikan dari 1000 orang Indonesia cuma 1 orang yang rajin membaca. Temuan UNESCO tersebut juga diperkuat oleh riset yang dilakukan oleh Central Connecticut State University dengan judul penelitian World’s Most Literate Nations Ranked. Berdasarkan riset tersebut, Indonesia menempati peringkat ke 60 dari 61 negara berkenaan dengan isu minat membaca.

Salah satu penyebab masih rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia yakni dikarenakan terbatasnya akses masyarakat untuk menjangkau perpustakaan atau ruang-ruang publik yang menyediakan buku bacaan. Kenyataan sosial tersebut terlihat dengan jelas jika kita memetakan aksesibilitas masyarakat di daerah pedalaman atau terluar. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri, masyarakat di wilayah perkotaan dimana akses atas informasi baik melalui media online maupun offline begitu mudah dijangkau pada kenyataannya juga tidak selalu memiliki tingkat literasi yang baik. Apalagi jika berbicara mengenai literasi bermedia, tidak sedikit publik yang terprovokasi oleh informasi yang salah sehingga menggiring opini publik yang salah.

Informasi Provokatif

Informasi provokatif atau hoax selama ini selalu menghiasi pemberitaan di dunia maya, utamanya yang tersebar melalui media sosial maupun jejering sosial seperti whatsaap, telegram, dan lain-lain. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bahkan menyebutkan telah terjadi peningkatan jumlah konten hoax pada bulan Januari hingga Februari 2019. Tercatat ada 175 konten hoax yang berhasil diverifikasi. Angka ini naik dua kali lipat di bulan Februari 2019 dengan jumlah konten hoax sebanyak 353 konten, dan terus meningkat pada bulan Maret sebesar 453 hoax.

Banyaknya informasi provokatif bahkan cenderung radikal menandakan ada ruang kosong dalam proses kita berkomunikasi, dimana seharusnya ada tanggung jawab moral untuk menyampaikan informasi yang shahih dan objektif, namun berganti dengan informasi yang cenderung memojokkan, menjatuhkan, dan hanya diperuntukkan bagi selera kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Kita bisa ambil contoh bagaimana publik menyikapi sikap diskirminatif yang terjadi di Perancis atas umat Islam. Secara sosiologis, umat Islam tentunya akan geram melihat kejadian tersebut, namun demikian sikap dan perilaku kegeraman tersebut ditunjukkan dengan melakukan aksi boikot dan menghimbau orang lain untuk tidak menjual produk produk dari Perancis. Sikap ini satu sisi sah-sah saja, namun yang disayangkan penulis bahkan mendapat informasi ada ancaman bagi masyarakat (baca: para pedagang) yang menjual barang dari Perancis. Realitas sosial seperti ini jelas, menandakan sebagian besar masyarakat tidak mampu membaca situasi dengan baik untuk kemudian secara tepat mengambil sikap. Ketiadaan untuk mencari informasi yang benar dan rasa sentimentil yang berlebihan pada akhirnya menimbulkan sikap yang jauh dari etika.

Literasi Beragama

Membaca pola relasi dan komunikasi sosial pada masyarakat Indonesia, satu hal yang masih kurang yakni literasi beragama. Literasi beragama ini setidaknya dibangun dengan 2 hal yakni: Pertama, kemampuan untuk belajar (literasi) agama dengan benar, baik melalui membaca buku-buku agama yang terkonfirmasi keshahihanya maupun melalui guru-guru agama seperti para kyai atau ulama yang memang mumpuni dalam bidang agama. Kedua, menjadikan informasi keagamaan yang sudah dipelajari secara tekstual untuk kemudian diamalkan secara kontekstul dengan sikap yang arif. Kedua hal tersebut sangat berkaitan, mereka yang cenderung saklek atau leterlijck secara tekstual akan membawa sikap dan perilaku beragama yang kaku. Maka tidak mengherankan jika reaksi yang timbul atas satu persoalan akan tergambar secara radikalis. Mereka memandang segala sesuatu secara hitam putih, jika saya benar berarti anda salah dan sebaliknya.

Secara personal publik harus meningkatkan keinginan mereka untuk membaca, saat ini hampir tidak ada yang tidak bisa diketahui. Globalisasi telah membawa dampak signifikan atas akses informasi yang ingin kita dapatkan. Tidak ada sekat wilayah, ruang, dan waktu untuk mencari informasi, namun yang harus diperhatikan, pastikan kita mengakses sumber informasi yang sudah terverifikasi sehingga informasi yang kita akses dapat dipercaya.

Epilog

Membangun basis literasi yang kuat memang tugas berat, utamanya bagi negara dimana tradisi tutut (bicara) jauh lebih membudaya dibandingkan tradisi menulis (mencatat). Oleh karena itu secara kontinuitas penting untuk membudayakan minat belajar (literasi) baik dalam frame berpikir, terlebih lagi dalam frame berperilaku. Karena kunci untuk mendapatkan kebenaran adalah jika kita tidak mudah ditipu, terutama soal informasi.

Facebook Comments