Dalam sembutan pada Pembukaan Munas XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), 21 November yang lalu, Presiden Jokowi mengingatkan dan menghimbau pada para pengusaha dan elite politik agar tidak bermain dengan politik identitas. Tepatnya ia mengatakan agar tidak membawa politik SARA dan politisasi agama.
Tentu saja sangat berasalan mengingat kondisi bangsa yang baru pulih dari pandemi dan siap menghadapi kontestasi politik yang menegangkan membutuhkan nuansa yang kondusif. Kontestasi politik bukan menghalalkan segala cara apalagi bermain-main dengan politisasi agama.
Politik identitas merupakan pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok karena adanya persamaan identitas yang mencakup ras, etnis dan unsur agama. Eksploitasi terhadap perbedaan itu untuk menumbuhkan emosi persatuan tetapi satu sisi untuk memecah belah kelompok sosial yang lain. Dalam prakteknya, politik identitas biasanya paling banyak muncul di masa-masa kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah atau bahkan negara.
Tragedi kemanusiaan dalam sejarah muncul karena permainan politik identitas yang bisa memberangus nyawa manusia. Adolf Hitler, misalnya, mampu meyakinkan orang-orang Jerman bahwa sumber krisis ekonomi dan kekalahan perang dunia adalah karena pengaruh orang-orang Yahudi. Banyak janji manis yang ia lontarkan untuk para pendukungnya kala itu. Hitler menawarkan diri untuk melenyapkan orang Yahudi ketika ia nantinya berkuasa.
Di tahun 1932, Hitlerpun mampu memenangkan pemilu. Kemenangan tersebut mengakibatkan tragedi yang terjadi di Jerman pada saat Nazi berkuasa. Enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman politik identitas dan itu menjadi salah satu peristiwa terburuk yang tercatat dalam sejarah dunia. Alasan inilah menjadikan politik identitas diyakini sebagai cara berpolitik yang memiliki potensi radikal karena datang langsung dari identitas diri sendiri sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dengan cara pembalasan yang serupa atau bahkan lebih.
Di Indonesia sendiri telah banyak dijumpai politisi yang cenderung mengarah pada politik identitas. Agama Islam di Indonesia seringkali dijadikan sebagai alat politik belaka saat pemilu tiba. Alasannya, agama Islam memiliki posisi yang strategis karena memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia, selain itu mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Politik identitas digunakan untuk mendapatkan dukungan politik. Kita masih sangat ingat dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017. Banyak sekali kejadian yang sejatinya menciderai nilai-nilai kemanusiaan gara-gara politik identitas. Agama dieksploitasi sedemikian rupa untuk membelah masyarakat.
Masih ingat bagaimana sekelompok orang tidak mau menshalatkan saudara seiman pun karena perbedaan pilihan politik? Pertentangan politik akan semakin tajam bahkan meningkat menjadi pertarungan yang sacral. Masih ingatkah pula Pilpres 2019 di mana persaiangan politik dimaknai perang dengan doa akbar kemenangan yang dilantunkan layaknya sebuah peperangan.
Keras dan sporadisnya politik identitas mampu membuat masyarakat tersegregasi dan terbelah menjadi dua kubu yang berlawanan. Wilayah agama digadang sebagai lahan beroperasi politik identitas. Dalam konteks Indonesia sendiri, politik identitas terkadang dilakukan oleh kelompok mainstream, yakni kelompok agama mayoritas dengan kaum minoritas. Kemudian disusul dengan munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi radikal yang mengatasnamakan agama tersebut.
Dari sini kita bisa simpulkan bahwa, politik identitas merupakan sebuah cara berpolitik yang didasarkan kepada kesamaan dan kesamaan identitas. Dan di Indonesia politik identitas di kerucutkan menjadi dua kelompok, yakni nasionalis dan agamis yang selalu dibenturk-benturkan.
Corak membenturkan antara agama dan nasionalisme sejatinya adalah cara berpikir kelompok radikal. Apabila politik identitas ini terus berjalan, maka akan menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi bangsa dan negara kita. Politik identitas tidak hanya akan memberikan ruang pertentangan menuju proses demokrasi yang tidak sehat, tetapi menjadi lahan subur pandangan radikalisme di tengah masyarakat.
Jika negara tidak mampu mengelolanya dengan tepat dan bijak, politik identitas akan mampu menghancurkan stabilitas dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena pertentangan tersebut tidak akan memiliki jalan tengah dan justru tumbuh menjadi sumbu yang siap meledakkan bangsa. Bukan saja kepentingan politik yang dipertaruhkan di sini, namun juga kepentingan masyarakat luas.
Kita tahu bahwa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, serta budaya. Indonesia juga banyak menyimpan berbagai sumber daya alam dan juga sumber daya manusia yang melimpah, dengan penduduk yang banyak dan juga memiliki latar belakang budaya, agama, serta suku yang berbeda-beda.
Jadi apabila logika politik identitas adalah untuk membagi kita dalam sebuah kelompok-kelompok akan menjadi ancaman besar terhadap negara yang majemuk ini. Karena itulah, politik identitas merupakan salah satu ancaman besar bagi negara ini. Daripada menuju politik identitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas.