Agama pada dasarnya tak pernah hadir sebagai sesuatu yang tergantung pada ruang dan waktu atau bersifat historis belaka. Dalam kajian agama-agama dikenallah dua sisi yang acap ditampakkan oleh agama: sisi eksoterik yang berisi seperangkat tata aturan yang dibatasi oleh konteks dan sisi esoterik yang mengatasi ruang dan waktu.
Taruhlah agama Islam dimana yang menjadi sisi eksoteriknya adalah fiqh yang berkaitan dengan tubuh, ilmu kalam dengan keyakinan yang bersandarkan lebih pada nalar, dan tasawuf atau sufisme sebagai sisi esoteriknya. Karena itulah di dalam agama Islam dikenal tiga tahap keadaan yang meliputi Islam, iman, dan ihsan. Islam dalam hal ini berkaitan dengan disiplin ilmu fiqh yang berkaitan dengan tubuh yang mengenal batas ruang dan waktu.
Iman berkaitan dengan keyakinan yang sebagian besar bersumber dari nalar dimana kemudian ilmu kalam atau teologi mendapatkan pengertiannya: kalam mengacu pada logos atau sabda yang pada akhirnya bertransformasi menjadi ilmu deduktif yang mendasarkan diri pada penyimpulan-penyimpulan nalar (teologi). Sedangkan ihsan berkaitan dengan keyakinan yang tak lagi membutuhkan pembuktian apapun sebab segalanya tak lagi bersifat sekedar kabar ataupun perintah. Di sinilah orang sampai pada pembicaraan mengenai spiritualitas Islam atau tasawuf.
Memang spiritualitas Islam atau tasawuf ini lebih menekankan dimensi batin manusia daripada lahirnya. Karena itu tak salah andaikata ada orang yang mengistilahkannya sebagai kebatinan. Saya tak sedang meminggirkan tubuh atau sisi lahiriah manusia dengan menyatakan pernyataan di atas. Hanya saja untuk kepentingan tema tulisan ini, pemilahan tersebut mestilah dilakukan.
Seumpamanya, tuma’ninah dalam shalat jelas tak ada petunjuk atau bahkan tuntutannya dalam fiqh yang menyatakan keabsahan shalat adalah ketika syarat dan rukunnya terpenuhi. Dengan memaparkan contoh ini, maka jelaslah letak perbedaan antara sisi eksoterik dan esoterik agama, sisi lahiriah dan kebatinan agama, fiqh-kalamdan tasawuf, Islam-iman dan ihsan. Kebatinan, dengan bersandar pada istilah dan suasana tuma’ninah tersebut, sepadan dengan istilah penghayatan yang berakar kata “hayat” atau hidup. Karena itu, dengan merujuk pada konstitusi negara ini, ternyata keduanya juga dipilah: “agama dan kepercayaan” (Menelusur Kapitayan, Agama Purba Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Meskipun jelas yang diacu oleh istilah kepercayaan dalam UUD ’45 adalah aliran-aliran penghayat yang merupakan kearifan-kearifan lokal nusantara, tapi secara substansial baik tasawuf maupun aliran-aliran penghayat memiliki titik-berat yang sama: kebatinan.
Dengan demikian, ketika orang berbicara tentang realitas Indonesia yang beragam—baik agama, warna kulit, suku, dst.—orang memang membutuhkan pendekatan yang bersifat melintas dan menyambung ketika menginginkan teranyamnya keberagaman tersebut. Sebab, kebatinan manusia dimana pun, terlepas dari latar-belakangnya, tak berbeda sebagaimana yang telah banyak didamik dengan istilah kemanusiaan.
Agama semata, tanpa spiritualitas di dalamnya, hanya akan menghasilkan perbedaan dan keterputusan: orang Islam haram untuk makan babi sementara orang non-muslim tak menjadi perkara. Tapi, menghormati perbedaan dalam menyikapi babi tersebut adalah wilayah spiritualitas. Dengan demikian, logika agama adalah logika neither…nor… atau eksklusivitas. Semantara logika spiritualitas atau kebatinan adalah logika either…or… atau inklusivitas (Membidik Tanpa Hardik, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).