Kesalehan Sosial sebagai Perekat Kebangsaan

Kesalehan Sosial sebagai Perekat Kebangsaan

- in Narasi
1
0
Selamat Hari Natal : Antara Ucapan, Akidah dan Relasi Antar Umat

Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi asas Ketuhanan Yang Maha Esa, memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan ruang aman bagi warganya untuk mengekspresikan ajaran agama. Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi landasan fundamental yang menjamin kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun, bagaimana penerapan nilai-nilai ini dalam konteks perayaan hari besar keagamaan seperti Natal 2024 dan pergantian Tahun Baru 2025?

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan,“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”Ini berarti, negara bertanggung jawab untuk melindungi setiap individu dari ancaman yang mengganggu kebebasan beragama, baik dari segi fisik maupun sosial. Hal ini dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebut kebebasan beragama sebagai hak fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Namun, seperti dicatat oleh jurnalAliansi: Jurnal Hukum, Pendidikan, dan Sosial Humaniora(2024), tantangan terhadap kebebasan beragama di Indonesia masih tinggi. Diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu, pembatasan pembangunan rumah ibadah, hingga kekerasan berbasis agama menunjukkan perlunya penguatan implementasi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari.

Relijiusitas sejati tidak hanya tentang ibadah personal, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai ketuhanan diterjemahkan ke dalam tindakan sosial. Kasih, damai, keadilan, dan kesederhanaan adalah prinsip universal yang seharusnya menjadi panduan setiap umat beragama. Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya peran aktif masyarakat dalam menjaga harmoni, terutama saat perayaan hari besar keagamaan seperti Natal.

Bahkan Wakil Presiden memberikan nomor telepon pribadinya sebagai langkah konkret untuk menerima laporan jika terjadi gangguan terhadap ibadah Natal. Komitmen ini menunjukkan bahwa negara berupaya keras memastikan ruang yang aman dan nyaman bagi seluruh warganya.

Meskipun komitmen negara untuk menjamin kebebasan beragama sudah jelas, kasus-kasus intoleransi masih kerap terjadi. Misalnya, laporan dari Komnas HAM menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2008–2018, terdapat lebih dari 2.400 pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Salah satu kasus yang mencolok adalah sengketa pembangunan rumah ibadah, seperti yang dialami oleh Gereja GKI Yasmin di Bogor

Di sisi lain, aksi intoleransi juga muncul dalam bentuk larangan perayaan hari besar agama tertentu di wilayah mayoritas agama lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara regulasi dan pelaksanaannya di lapangan. Isu keamanan dan kenyamanan sering kali menjadi perhatian utama. Oleh karena itu, aparat keamanan perlu bekerja sama dengan masyarakat untuk memastikan suasana yang kondusif selama perayaan berlangsung.

Nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi pedoman utama dalam mengelola keberagaman di Indonesia. Pancasila tidak hanya mendorong toleransi, tetapi juga menjadikan harmoni sebagai kewajiban. Dalam praktiknya, ini berarti setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberagaman tanpa harus mengorbankan keyakinan pribadi.

Emile Durkheim dalam teorinya tentang agama menyebutkan bahwa keyakinan dan praktik keagamaan adalah perekat sosial yang dapat menyatukan masyarakat. Pemikiran Emile Durkheim relevan dengan semangat Pancasila yang mengedepankan kebersamaan dalam keberagaman.

Momentum Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 seharusnya menjadi refleksi kolektif bagi masyarakat Indonesia untuk terus merawat harmoni sosial. Dengan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan, kita dapat menciptakan ruang aman bagi semua umat beragama untuk menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut.

Kerja sama antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebebasan beragama tidak hanya menjadi jargon, tetapi terwujud dalam tindakan nyata. Dengan demikian, Indonesia dapat terus menjadi contoh negara yang berhasil merawat keberagaman sebagai kekuatan, bukan kelemahan.

Facebook Comments