Meluruskan Kembali Makna Perang Dalam al-Qur’an

Meluruskan Kembali Makna Perang Dalam al-Qur’an

- in Narasi
3470
1

Kontestasi politik selalu menyisakan hal-hal yang tidak tuntas. Seringkali penafsiran yang lurus sengaja dibelok-belokkan sehingga dipahami kembali secara keliru. Jika politik mengharuskan berkontestasi, maka berkontestasilah secara positif, bersih, sehat, dan damai. Kontestatasi yang tidah bersih biasanya menyisakan luka, menyimpan rasa dendam hingga mengarah pada saling tuduh satu sama lain. Semestinya kontestasi selesai, damailah yang kemudian dirajut kembali, kembali saling bergandengan tangan untuk sebuah kemajuan bersama.

Sampai saat ini kontestasi politik masih sering membawa-bawa dalil agama. Ada diantara politisi yang mencampurkan urusan politik dengan tafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Lawan politik dianggapnya sebagai musuh, bahkan dituduh kafir padahal seagama sekalipun. Tuduhan semacam ini kemudian dikuatkan dengan dalil-dalil al-Qur’an, bahwa orang kafir harus diperangi, padahal lawan politiknya seiman. Lantas inilah yang menjadikan kontestasi politik itu tidak sehat, dengan membawa-bawa ayat perang untuk melawan rival politiknya.

Mari kita pahami kembali apakah perang itu benar-benar diperintahkan sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an. Jika terus menerus kontestasi politik melibatkan ayat-ayat perang, lama-lama Indonesia ini akan jadi Suriah yang tidak ada henti-hentinya berkonflik dan berperang. Makna perang saat ini sudah pasti jauh berbeda konteksnya dengan zaman Nabi Muhammad saw.

Pertama, al-Qur’an tidak memerintahkan berperang seperti perang di zaman Nabi Muhammad. Nabi berperang untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Di zaman itu mengangkat senjata adalah keniscayaan, jika nabi dulu tidak mengangkat senjata, maka kemanusiaan tidak akan dengan mudah diperjuangkan seperti saat ini. Nabi berperang karena zaman saat itu adalah masa di mana fanatisme kesukuan yang sangat kuat. Antar suku-suku di masa itu saling mempertahankan harga diri kelompok dan ideologinya.

Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 190 bukanlah perintah berperang bagi kita umat setelah nabi. Ayat itu perintah kepada Nabi Muhammad untuk berperang jika ada orang yang memerangimu. Konteks ayat itu menegaskan, perangi mereka yang melakukan penindasan, meruskan martabat kemanusiaan, dan memberhalakan ketidakadilan kepada sesama manusia. Ingat, ayat itu menegaskan kepada kita, bahwa betapa luarbiasa perjuangan kanjeng Nabi dalam memperkenalkan nilai-nilai Islam (kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian).

Lantas bagaimana konteks sekarang, perintah berperang saat ini berbeda dengan perang di zaman nabi. Saat ini perang bukan mengangkat senjata. Perang bukan membunuh dan menghilangkan nyawa orang lain. musuh utama saat ini adalah kebodohan, kemiskinan, penindasan, kerusakan alam, dan ketidakadilan. Perangi terorisme, radikalisme, intoleransi, dengan mengkaampanyekan cinta damai dan kasih sayang kepada sesama manusia.

Kedua, al-Qur’an mewajibkan kita saling mengasihi. Dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 10, perintah al-Qur’an adalah saling mengasihi, saling kenal, saling mengerti satu sama lain. ayat ini menjelaskan bahwa kita (manusia) diciptakan berbeda-beda, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, tidak untuk saling berperang, tapi saling kasih dan cinta. Apapun identitasnya, agamanya, sukunya, saling kasih itu wajib dalam al-Qur’an.

Jadi, barang siapa yang tidak saling mengasihi kepada sesamanya, ia telah melanggar perintah al-Qur’an. Perintah tersebut melampaui identitas, apalagi segolongan atau seiman, justru seharusnya saling mencintai, bukan saling menuduh, kamu kafir atau tidak kafir. Alasan kenapa manusia diciptakan berbeda-beda, satu hal, adalah untuk saling bekerja sama, untuk hal apa, yang pasti ini kemajuan bangsa dan negara, untuk kemanusiaan dan keadilan. Dengan demikian al-Qur’an mengehendaki perdamaian bukan peperangan.

Ketiga, al-Qur’an memerintahkan mengajak kepada kebaikan bukan perseteruan. Dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 125, tegas al-Qur’an menjelaskan bahwa “ajaklah” kepada jalan kebenaran dengan cara-cara yang penuh hikmah, yakni kesantunan, keramahtamahan, dan kelembutan. Bukan dengan cacian dan hinaan kepada orang lain. Maka, siapa saja yang memberi ajakan kepada orang lain berupa cacian, hujatan, intimadasi, maka ia tidak sejalan dengan perintah al-Qur’an yang demikian itu.

Bahkan jika muncul perdebatan saja, al-Qur’an tetap menegaskan harus dengan cara yang santun, tidak menyakiti atau melukai orang lain. sama sekali tidak ada perintah untuk memerangi dengan cara membunuh atau memukul dengan kasar, apalagi hujatan dan cacian yang tidak berguna sama sekali. Jika sampai saat ini masih ada orang yang memaksakan pemahaman bahwa al-Qur’an memerintahkan memerangi lawan politiknya, misalnya, dengan cara-cara yang tidak baik, lantas didasarkan pada al-Qur’an, maka yang demikian itu adalah pemahaman yang sangat dangkal.

Al-Qur’an merepresentasikan narasi perdamaian, persatuan dan kesatuan. Dalam semua ayat-ayat al-Qur’an semuanya mengarah pada nilai-nilai kemanusiaan. Untuk saling mengasihi satu sama lain. ayat demi ayat dalam al-Qur’an memerintahkan kita untuk saling berangkulan dan bergandengan tangan, bekerja sama, saling menghargai meskipun dalam perbedaan. Bahkan perbedaan politik sekalipun, bukanlah alasan kita saling berjauhan, apalagi saling berperang.

Jika anda muslim, sebagai seorang politisi, maka berkontestasilah secara demokratis, serukan ajakan yang penuh kelembutan bukan permusuhan. Jika anda muslim, seorang pejabat publik, maka berperanlah secara toleran, jangan pandang identitasnya, pandang semua orang berlatarbelakang sama, yakni sama-sama manusia. jika anda muslim, rakyat sipil, maka pahami bahwa Islam menyerukan kita semua untuk saling mengasihi, jangan terprovokasi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab yang mencoba merusak persatuan dan kesatuan bangsa kita. Akhirnya, jangan pernah lelah dan bosan-bosan untuk selalu mengingatkan, mengkampanyekan tentang pentingnya perdamaian, tentang mahalnya keberagaman yang kita miliki.

Facebook Comments