Pandangan dunia multikultural secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara “Bhinneka Tunggal Ika”, mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan. Namun demikian, pembentukan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan.
Dari sanalah, langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan dalam masyarakat luas. Keragaman atau kebhinnekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Konsep multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, negara tidak mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.
Penting dicatat, keragaman tersebut hendaklah tidak diinterpretasikan secara tunggal. Lebih jauh, komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat-masyarakat dan negara-bangsa tidaklah berarti ketercerabutan, relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik bekrepanjangan. Sebab, pada saat yang sama juga terdapat simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur, dan lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama.
Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas, yaitu kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut untuk melupakan upaya-upaya penguatan identitas melainkan berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan berjalan dengan baik.
Peran guru
Karena itu, implementasi dari pendidikan multikultural ini mengidealkan adanya integrasi peran guru, kurikulum, dan sistem lembaga yang sadar multikultural. Pendidikan multikultural dapat diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan menjadikan perbedaan-perbedaan kultural maupun primordial yang ada pada (maha)siswa, seperti perbedaan etnis, gender, agama, bahasa, kelas sosial, dan lain sebagainya.
Tentang peran guru, misalnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, seorang guru harus mampu untuk bersikap demokratis dalam setiap tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya, tidak diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyinggung) peserta didik yang menganut agama berbeda dengannya. Ketika seorang guru sejarah menjelaskan tentang Perang Salib yang melibatkan penganut agama Islam dan Kristen, maka dia harus mampu untuk bersikap tidak memihak terhadap salah satu kelompok di antara keduanya—meski mungkin guru tersebut menganut agama yang sama dengan salah satu kelompok yang terlibat di dalamnya.
Jikalau seorang guru dalam menyampaikan materi sejarah memihak terhadap salah satu agama agama yang terlibat perang tersebut, maka analisa dan penjelasannya akan bias, subjektif. Yang terjadi, penjelasan yang tidak objektif itu tidak hanya akan melukai hati peserta didik, tapi juga akan menimbulkan permusuhan dalam diri mereka terhadap salah satu agama yang sedang menjadi objek pembicaraan (Yaqin, 2005).
Kedua, guru harus mempunyai kepedulian yang tingi terhadap fenomena-fenomena tertentu yang ada hubungannya dengan empati sosial. Seorang guru juga dituntut untuk memberikan perlakukan yang sama kepada peserta didik yang beda agama (dengan mayoritas, termasuk gurunya), seperti tidak diskriminasi dalam pemberian nilai ujian. Saat pelajaran agama, seorang guru tidak menunjukkan perlakuan yang berat sebelah, memuji agama yang dianut kalangan mayoritas, dan mendeskreditkan ajaran agama minoritas dengan cara mengolok-olok, membenci, provokasi, dan lain sebagainya.
Contohnya, ketika terjadi pengeboman, yang oleh aparat kepolisian dan penegak hukum disebutkan bahwa dalang pelakunya penganut agama tertentu, maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan kepriatinannya. Seorang guru wajib menjelaskan bahwa agama secara ideal mengajarkan kerukukanan, perdamaian, dan atas peristiwa tersebut merupakan oknum pelaku, bukan justru membenarkan secara teologis menurut keyakinan agamanya.
Kesadaran multikulturalisme perlu ditanamkan sejak dini kepada peserta didik, bahwa kita hidup dalam lingkungan yang plural, beda etnis, warna kulit, agama, dan seterusnya, sehingga perlu sikap bijak dengan cara tidak memberikan stereotipe negatif kepada segala sesuatu yang beda dengan kita. Sebab, jika prasangka dan ajaran kebencian ditularkan kepada peserta didik, maka dari sanalah benih radikalisme itu muncul; seseorang akan mudah mencurigai dan membenci setiap perbedaan di sekitarnya.
Implementasi pendidikan multikultual memungkinkan peserta didik dapat berperilaku toleran, demokratis, pluralis, dan humanis. Sikap demikian sangat diperlukan untuk menunjang kehidupan yang harmonis dalam masyarakat multikultural bangsa Indonesia. Semoga.