Keputusan pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri terkait seragam sekolah dan atribut keagamaan mendapatkan respon positif dari berbagai pihak. Tentu ada pula respon negatif yang juga dibumbui dengan misinformasi dan hoax di tengah masyarakat. Banyak sekali narasi yang kemudian mengembangkan pada pemikiran yang tidak produktif dalam merespons kebijakan SKB tersebut.
Apabila kita petakan respon terhadap SKB itu kita sederhanakan dalam dua hal. Pertama, memang murni ketidaktahuan masyarakat. Ada informasi yang kurang lengkap yang selanjutnya dihantam dengan konten hoax dan disinformasi. Beberapa respon yang masuk dalam kategori ini misalnya orang tua khawatir menyekolahkan anaknya di madrasah karena dianggap jilbab itu dilarang. Hal lain misalnya orang tua kebingungan jika seragam itu diberikan hak yang sebebas-bebasnya tanpa aturan dari seragam sekolah.
Dari pihak sekolah ada juga timbul ketakutan yang sudah membiasakan diri memberikan aturan jilbab di sekolah. Selain itu guru agama Islam merasa khawatir karena mewajibkan penggunaan jilbab pada peserta didik yang mengikuti pelajaran agama Islam.
Kedua, informasi yang dikembangkan dengan narasi yang ideologis. Narasi itu misalnya berkisar pada kebijakan SKB yang anti Islam dan berbau sekuler. Narasi ini tentu adalah bagian dari pengetahuan dan nilai ideologis kelompok tertentu dalam menentang kebhinekaan dengan cara formalisme Islam.
Terkadang narasi ideologis inilah yang gencar menyebarkan disinformasi terkait SKB tersebut. Pemahaman tentang SKB yang melarang jilbab di sekolah dan penghapusan jilbab di sekolah merupakan narasi permainan untuk menegaskan seolah pemerintah sedang memerangi Islam.
Kita harus mengembalikan kehadiran SKB ini dari latarbelakang yang cukup kuat dan mengkhawatirkan, yakni mengembalikan karakter toleran anak didik yang dimulai dari pendidikan. Caranya adalah sekolah negeri menjadi pioneer teladan dalam melembagakan nilai toleransi dan kehinekaan. Dan penting bagi orang tua memahami bahwa SKB ini berbicara dalam lingkup satuan pendidikan yang berada dalam pengelolaan pemerintah daerah atau dalam hal ini sekolah negeri. Karena itulah, tidak ada kekhawatiran tentang sekolah kekhususan semisal sekolah keagamaan.
Sekolah negeri harus menjadi miniatur dari kebhinekaan yang dimulai sejak dari pendidikan. Karena perspektif ini yang dipakai sehingga tidak ada diskriminasi di sekolah berdasarkan agama tertentu dan tidak ada pemaksaan identitas keagamaan kepada seorang anak yang berbeda dengan keyakinannya.
semangat SKB ini sebenarnya pada menyemai toleransi di sekolah tidak semata hanya persoalan pakaian. Praktek intoleransi di sekolah terkhusus sekolah negeri merupakan fenomena yang sudah terjadi cukup lama. Pemaksaan seragam dengan identitas agama tertentu di satuan pendidikan yang dikelola oleh pemerintah daerah menjadi cambuk yang menciderai kebhinekaan dan toleransi.
Karena itulah, praktek intoleransi di sekolah yang berbahaya juga tidak kalah bahayanya adalah misformasi dan disformasi yang sengaja digerakkan dalam merespon kebijakan SKB ini. Pemerintah harus menggandeng ormas keagamaan dan tokoh agama untuk menjelaskan perihal dan duduk perkara sekaligus semangat dari SKB ini.
Ruang lingkup SKB ini adalah menata iklim kondusif keberagaman di sekolah negeri. Harus dicatat dan digarisbawahi adalah sekolah negeri. Sehingga tidak masalah dengan sekolah keagamaan seperti madrasah dan sekolah swasta Islam yang dikelola oleh Yayasan untuk mewajibkan Jilbab anak didiknya.
Kedua, ini menjadi penting bahwa SKB ini bukan pada posisi melarang jilbab di sekolah sebagaimana disinformasi yang berkembang. SKB ini mengatur agar tidak ada pemaksaan atribut keagamaan seperti jilbab di sekolah negeri yang bisa memaksakan siswa yang berbeda agama harus melaksanakannya.