Bahaya “Kuasa Mayoritas” dalam Relasi Umat Beragama

Bahaya “Kuasa Mayoritas” dalam Relasi Umat Beragama

- in Editorial
73
0
Bahaya “Kuasa Mayoritas” dalam Relasi Umat Beragama

Dalam relasi sosial, tidak terbantahkan ada klaim yang disadari atau tidak bernama mayoritas. Mayoritas merujuk pada kuantitas dan kualitas. Kelompok mayoritas bisa merujuk pada jumlah yang lebih besar atau bisa juga mempunyai kemampuan sosial yang lebih besar dalam melakukan dominasi sosial. Dalam konteks relasi sosial, kuasa mayoritas menjadi problem utama dalam merangkai kerukunan.

Dalam pergaulan masyarakat antar beragama, kelas mayoritas merupakan hirarki yang tanpa disadari memiliki dan menggunakan kekuatannya untuk mengatur norma, nilai, narasi dan wacana sosial. Karenanya mereka memiliki kekuatan superior untuk mendefinisikan kondisi sosial.

Kuasa kelompok mayoritas bukan hanya terletak pada kontrol fisik dan material, tetapi juga kuasa norma dan nilai sosial yang dapat mendefinisikan relasi sosial yang ada. Istilah menggangu keamanan, ketenangan dan kebisingan adalah narasi kelompok mayoritas ketika menganggap minoritas mengganggu stabilitas dan eksistensinya.

Dari proses kesadaran itulah muncul stereotip, pra sangka dan diskriminasi kelompok mayoritas berdasarkan asumsi superioritas. Kelompok mayoritas akan selalu memelihara dominasi dan kontrol, salah satunya sebagaimana Gramci menyebutnya dengan alat hegemoni, yakni mengatur wacana dan keyakinan sosial.

Dalam relasi antar umat beragama, kuasa mayoritas ini seringkali muncul dan membentuk egoisme kelompok beragama. Bagi mayoritas, menyelenggarakan kebisingan dalam acara tertentu, misalnya, bukan dianggap bertentangan dengan norma, tetapi kewajaran. Namun, ketika kebisingan itu muncul dari minoritas, seketika, kuasa mayoritas itu muncul dengan mendefinisikan itu menggangu status quo dengan dalih “ketentraman sosial”.

Walaupun istilah mayoritas-minoritas ini tidak kita sukai dan dalam beberapa kesempatan seringkali kita hindari, tetapi alam bawah sadar masyarakat, kesadaran superior secara kuantitas tetap ada. Perasaan untuk mengontrol kelompok yang kecil dalam norma, nilai dan aturan yang mengandung kepentingan kelompok yang besar selalu ada.

Karena itulah, dalam relasi sosial masyarakat antar agama, relasi ini harus dicairkan. Perasaan mayoritas dan minoritas rasanya tidak mungkin dihilangkan seketika. Namun, penting sekali di tengah masyarakat ada upaya mempromosikan identitas sosial yang inklusif yang bisa melampaui batas kelompok sosial. Identitas inklusif ini tidak lagi berbicara tentang kelompok berdasarkan sekat yang berbeda, tetapi ada proses rekategorisasi sosial di mana semua kelompok merasa dalam satu kesatuan yang besar.

Secara sederhana bisa dipahami, perbedaan itu tidak bisa dihilangkan, tetapi upaya membawa yang berbeda dalam tujuan besar yang lebih setara harus dilakukan. Karena itulah, hasil dari proses pencarian identitas inklusif ini akan menghasilkan kebijakan yang inklusif yang tidak memihak serta memberikan keadilan dan kesetaraan dalam melihat kelompok yang berbeda.

Pelarangan kebisingan di tengah masyarakat harus diberlakukan setara tidak melihat pada aktor dan kelompok tertentu atau acara keagamaan atau bukan, tetapi karena sebagai kondisi yang bisa menggangu ketenangan bersama. Dalam konteks tertentu, kebisingan bisa dilakukan dengan kesepakatan bersama dan negosiasi yang bisa ditoleransi bersama.

Facebook Comments