Setiap Hari Raya Natal, Barisan Ansor Serbaguna (Baser) NU hampir bisa
dipastikan menjaga gereja-gereja selama perayaan Natal. Hal itu bisa
dikatakan sudah menjadi 'tradisi' Banser setiap tahun.
Semua kalangan sudah mengetahui hal ini. Namun, tak banyak yang
mengetahui asal muasal dari tradisi Banser ini. Sejarah mencatat, tradisi ini
bermula dari kebijakan visioner Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid
atau yang akrab disapa Gus Dur.
Pada akhir 1990-an, menjelang reformasi, Indonesia menghadapi kerusuhan
bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) di berbagai kota.
Salah satunya di Situbondo, Jawa Timur pada 1996. Kala itu, kerusuhan
massa berujung pada pembakaran gereja di kota tersebut.
Pasca peristiwa tersebut, Gus Dur, yang saat itu masih menjabat sebagai
Ketua Umum PBNU tergerak untuk mencegah tindakan kekerasan terhadap
tempat ibadah. Karena itu, Gus Dur menginstruksikan Banser untuk menjaga
gereja-gereja saat perayaan Natal agar umat Kristiani dapat merayakan hari
besar mereka dengan aman. Gus Dur berpandangan, Gereja adalah bagian
dari tanah air dan tidak boleh diganggu.
Seiring berjalannya waktu, kebijakan Gus Dur pada 1990-an itu menjadi
kebijakan NU dan Banser secara institusi, hingga akhirnya menjadi tradisi.
Setiap perayaan Natal, Banser selalu siap siaga menjaga gereja-gereja di
berbagai daerah. Banser berupaya agar umat Kristiani bisa merayakan Natal
dengan aman dan tenang.
Tradisi yang dipegang teguh Banser itu bukan tanpa tantangan. Sindiran
bahkan ejekan sering diterima Banser dari kalangan yang tak senang
terhadap tradisi tersebut. 'Toleransi kebablasan', maupun 'satpam gereja'
adalah beberapa kata ejekan yang diterima Banser karena konsistensinya
menjaga gereja setiap tahun.
Bukan hanya ejekan yang diterima Banser. Pada 2000, seorang anggota
Banser, Riyanto, bahkan harus kehilangan nyawa saat menjalankan tugasnya
menjaga satu gereja di Mojokerto.
Riyanto menjadi korban bom yang diledakkan kelompok teroris untuk
mengganggu ibadah Natal. Anggota Banser ini pun menjadi simbol
pengorbanan demi tegaknya toleransi antar umat beragama.
Kebijakan Gus Dur dengan menginstruksikan Banser menjaga gereja, yang
kemudian menjadi kebijakan dan tradisi Banser, merupakan representasi
semangat toleransi dan kebhinekaan. Tak hanya itu, kebijakan Gus Dur dan
Banser tersebut sejatinya meneruskan tradisi umat Islam generasi pertama,
yakni generasi Nabi Muhammad dan sahabatnya.
Dalam hadis diceritakan bahwa dalam kondisi perang, Nabi Muhammad
berpesan kepada para sahabatnya untuk tidak membunuh orang-orang yang
berada di dalam gereja.
Nabi bersabda: “Janganlah kalian membunuh anak-anak dan orang-orang
yang berada di gereja.” (HR. Ahmad bin Hanbal 2728, Ath-Thabrani 11562,
Al-Baihaqi 2834).
Pesan serupa juga disampaikan Abu Bakar ketika mengirim pasukan
militernya ke wilayah Syam yang di dalamnya banyak sinagoge, gereja dan
rumah ibadah lainnya. Kepada tentara perangnya, Yazid bin Abi Sufyan, ‘Amr
bin al-‘Ash, dan Syurahbil ibn Hasanah, Abu Bakar berpesan:
“Janganlah kalian membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua. (Di
Syam) kalian akan menjumpai kaum yang menahan dirinya di gereja,
tinggalkanlah mereka, biarkan mereka beribadah.” (An-Nawawi, tt: XIX, 296).
Jadi, tradisi menjaga tempat ibadah Non Muslim sejatinya merupakan pesan
langsung Nabi Muhammad dan Abu Bakar. Meski pernah beberapa kali
berperang melawan Yahudi, tapi Nabi Muhammad dan Abu Bakar tegas
meminta pasukannya supaya tidak membunuh orang-orang Yahudi yang
berada dan beribadah di sinagoge.
Artinya Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar menjaga dan melindungi non
muslim yang sedang beribadah. Jadi apa yang dilakukan Gus Dur dan Banser
ribuan tahun kemudian, merupakan bagian dari melaksanakan dan
meneruskan pesan Nabi Muhammad dan Abu Bakar.
Kebijakan Gus Dur dan Banser itu bukan berpijak pada 'tanah kosong', tapi
punya rekam jejak dalam sejarah Islam.