Posisi Iman dalam Ucapan Selamat Natal

Posisi Iman dalam Ucapan Selamat Natal

- in Narasi
0
0
Posisi Iman dalam Ucapan Selamat Natal

Setiap tahun, perdebatan kosong mengenai ucapan selamat Natal itu selalu tumbuh
dari situasi diri kita yang kerap dipenuhi oleh “rasa” prasangka dan kekawatiran-kekawatiran.
Banyak yang bertanya, bagaimana posisi iman kita di saat kita mengucapkan selamat Natal?
Apakah “ucapan” selamat natal dapat menggeser iman kita?

Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, kita harus “jernih” dalam memahami dua
konteks situasi yang berbeda. Bahwa, antara ucapan “selamat” Natal dengan “melaksanakan”
Natal sesungguhnya memiliki konsekuensi yang berbeda. Yakni antara konsekuensi sosial
dan konsekuensi spiritual.

Pada saat diucapkan “Selamat Natal” itu, yang tersisa di dalamnya hanyalah sebentuk
dari komunikasi yang memperlihatkan kedekatan-kedekatan sosial. Entah kedekatan kita
mengucapkan selamat Natal kepada teman sekolah, teman kerja dll. Jadi, yang tumbuh dalam
ucapan selamat natal itu adalah konsekuensi sosial yang mapan dan kalau meminjam bahasa
Prof Quraish Shihab adalah “Basa-basi yang mengharmoniskan keberagaman kita” di balik
ucapan selamat Natal.

Tentu jauh berbeda dengan orang yang melaksanakan Natal itu sendiri. Dia terikat
oleh dimensi keimanan tentang kebenaran Natal. Bahkan, terikat oleh sebentuk norma-normal
spiritual dalam menghayati perayaan Natal itu. Dia telah menjembatani dimensi keimanan
dirinya dan wilayah demikian hanya dapat dirasakan oleh orang yang meyakininya, yakni
umat Kristiani itu.

Jadi, posisi iman di balik ucapan selamat Natal ini tak lagi menaruh “kepercayaan”
tentang keyakinan/keimanan tentang Natal. Tetapi, kita telah menaruh posisi keimanan itu ke
dalam kesadaran etis. Bahwa kita selalu diperintahkan berbuat baik dan menjaga
keharmonisan sosial. Hal itu dilakukan dalam wujud ucapan selamat Natal yang tak lebih dari
sekadar pola komunikasi keharmonisan dan perwujudan dari saling menjamin hak kebebasan
beragama yang terkelupas dari dimensi keimanan tentang Natal itu.

Contoh yang paling sederhana untuk kita pahami, di saat non-muslim mengucapkan
selamat berpuasa misalnya. Bagi yang non-muslim, ucapan-ucapan semacam itu tentu tak
diekspresikan ke dalam spirit keimanan di balik dimensi puasa itu. Berbeda dengan kita
sebagai orang yang melaksanakan puasa. Bahwa, yang terikat oleh keimanan sesungguhnya
adalah kesadaran dan keyakinan yang tertanam dalam diri sendiri.

Tidak ada korelasi secara teologis di saat kita mengucapkan selamat Natal, lalu
keimanan kita sebagai (muslim) secara otomatis tergeser. Kecuali, kita menaruh keimanan
dalam diri kita sendiri. Artinya apa? Persoalan keimanan itu sebetulnya kembali pada
“subjek” yang mengimani itu. Dimensi keimanan itu adalah kesadaran yang tulus dalam diri
seseorang dan sebagai bagian bahasa teologis yang tak terikat oleh bahasa logis dari ucapan-
ucapan kita.

Pernahkah kita mendengar satu istilah, bahwa ucapan kadang tak sesuai dengan
tindakan dan tindakan kadang tak sesuai dengan kejujuran hati. Maka ada istilah yang sangat

keren dalam Islam, yakni: “innama a’malu binniyat”. Bahwa segala bentuk perbuatan itu
bisa dilihat (pertimbangan hukum) berdasarkan niat.

Segala bentuk perbuatan (ucapan selamat Natal) jika kita niatkan sebagai bagian dari
jalan untuk menjaga hubungan sosial agar tetap terjaga dan tak terpecah-belah. Maka, ini
sebagai satu bentuk ijtihad beragama kita yang menempatkan posisi iman kita ke dalam
semangat menjaga kemaslahatan umat dan bangsa. Jadi, posisi iman dalam ucapan selamat
Natal kokoh ke dalam keimanan yang membawa rasa aman itu.

Pentingnya Membuang “Prasangka” dalam Beragama

Sebagaimana yang Saya sebutkan di awal. Perdebatan kosong mengenai ucapan
selamat Natal itu selalu tumbuh dari situasi diri kita yang kerap dipenuhi oleh “rasa”
prasangka dan kekawatiran-kekawatiran. Maka di sinilah pentingnya bagi kita untuk
membuang rasa prasangka dalam beragama itu lewat keterbukaan sosial, terbentuknya pola
komunikasi lintas iman dan membuka ruang dialog dll.

Prasangka dalam beragama pada dasarnya tak sekadar membuat kita enggan
mengucapkan selamat keagamaan seperti selamat Natal. Tetapi, cenderung melahirkan
ketertutupan sosial dan cenderung membawa sikap yang ekslusif dalam beragama. Hal
demikian tumbuh dari ketidakpahaman kita. Jadi, segala sesuatu yang hadir dalam lingkup
umat agama lain itu dianggap perlu dijauhi karena dianggap beda keyakinan dan diprasangka
akan merusak posisi iman menjadi goyah.

Jadi, persoalan di balik perdebatan kosong terkait ucapan selamat Natal itu sebetulnya
tak ada korelasi etis dengan masalah keimanan. Posisi iman kita justru tetao kokoh ke dalam
satu kesadaran bahwa menjaga hubungan sosial yang baik dengan umat agama lain lewat
saling mengucapkan selamat keagamaan adalah bagian dari posisi integral dari kualitas iman
itu sendiri. Memberi jaminan dan keamanan atas umat agama lain juga bagian dari posisi
paling fundamental sebagai umat yang beriman untuk diyakini.

Facebook Comments