Merawat Nalar, Menjaga Kebhinekaan

Merawat Nalar, Menjaga Kebhinekaan

- in Narasi
1558
0

Di era media sosial saat ini, kita mudah melihat orang saling menghujat satu sama lain. Mula-mula sebuah kabar bernada provokatif berdar dan menciptakan kemarahan banyak orang. Kemarahan tersebut kemudian meluas. Akibatnya, timeline media sosial kerap dipenuhi parade kemarahan, hujatan, prasangka, yang lebih mengedepankan emosi. Ketika ada pihak yang tidak sependapat yang tercipta adalah perbedatan yang penuh hujatan, sehingga menimbulkan kegaduhan yang meresahkan. Apa yang terjadi dengan sebagian masyarakat kita? Mengapa pertikaian begitu mudah muncul di media sosial?

Jika kita perhatikan, saat ini orang begitu gemar menyerang kehormatan orang atau kelompok lain. Rasa benci yang muncul, yang dilandasi pelbagai faktor (kecemburuan sosial, sentimen primordial, dsb.), diekspresikan lewat pelbagai serangan untuk menjatuhkan kehormatan seseorang. Berbekal sebuah kabar atau konten-konten tertentu yang beredar di dunia maya, seseorang akan dengan mudah menggunakannya sebagai dalih untuk menyerang orang tau kelompok lain yang dibencinya.

Kecenderungan untuk menyerang kehormatan orang atau kelompok lain di muka publik dengan menyebarkannya di media sosial, menggambarkan adanya etika yang mulai dicampakkan. Nilai-nilai kemanusiaan tentang penghormatan terhadap kehormatan orang lain, yang menjadi instrumen penting untuk membangun hubungan harmonis dengan sesama, kini mulai tergerus dilindas oleh keegoisan untuk melampiaskan kebencian, amarah, dan dendam. Sastrawan Kurnia JR. dalam tulisannya berjudul “Kehormatan Orang” (Kompas, 4/9/2017) memberikan uraian menarik tentang bagaimana orang-orang mulai mencampakkan etika dan gemar menjatuhkan kehormatan orang lain.

Kurnia JR dalam tulisannya memotret pelbagai fenomena yang belakangan menjadi perhatian publik, terutama di media sosial. Mulai tentang viralnya foto seekor anjing yang diikat di mobil dan diseret hingga beberapa kilometer yang membuat warganet mengutuk si pengemudi, hujatan yang menimpa seorang remaja yang dituduh menjiplak lewat tulisan-tulisannya di Facebook, kenyinyiran yang menimpa penyanyi Korea Selatan sebelum mengisi acara Countdown to 2018 Asian Games, dan lain sebagainya.

Gemuruh kecaman dan hujatan yang mudah muncul di media sosial menggambarkan besarnya syakwasangka, juga sikap gegabah, yang mendera banyak masyarakat kita, sehingga nyaris tak menyisakan tempat bagi objek yang dihujat untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam salah satu contoh tersebut misalnya, diketahui belakangan bahwa ternyata pengendara mobil yang menyeret anjing itu tak sengaja dan tidak mengetahui jika ada anjing yang terikat di mobil. “Dengan bercucuran air mata ia bercerita bahwa kendaraan itu pinjaman dari temannya,” tulis Kurnia.

Suka atau tak suka, lanjut Kurnia, saat ini publik kerap disuguhi penelanjangan aib orang dengan dalih mengungkap kebenaran. Alhasil, terciptakan perseteruan terbuka antara dua belah pihak, satu sama lain saling mempermalukan. Di media sosial, perseteruan ini kerap mengundang pertikaian publik secara meluas, sehingga tak jarang berujung pada fenomena saling hujat dan saling serang antar pihak yang pro dan yang kontra. Bahkan, seringkali perdebatan dan saling hujat di dunia maya tersebut merembet ke isu-isu sensitif seperti agama, ras, suku, dll. yang bisa semakin memperburuk keadaan.

Nalar

Hal penting yang harus selalu dirawat terkait maraknya berita palsu, provokasi, dan aksi saling hujat di media sosial adalah nalar sehat. Melalui penalaran yang sehat dalam menyikapi hal tersebut, orang akan terhindar dari kekhawatiran dan sikap gegabah. Sebab, saat ini banyak berita-berita palsu (hoax) dibuat, video-video profokasi disebarkan, gambar-gambar diedit sedemikian rupa untuk memancing emosi dan menakut-nakuti kita.

Sehari-hari kita juga seperti tak asing dengan peredaran pesan-pesan bernada peringatan, bahkan ancaman, yang berseriweran di ruang-ruang chat, seperti BBM, Whatsapp, Facebook, dan sebagainya. Misalnya, bahwa kita harus waspada pada kelompok A sedang menjalankan misi, bahwa mazhab X berbahaya, dan pelbagai pesan yang meminta untuk terus disebarkan. Para provokator dan pihak-pihak yang sengaja menyebarkan kebencian sering menyebarkan konten yang memunculkan kekhawatiran, kegelisahan, dan ketakutan publik secara luas.

Ini bukan tanpa dasar. Sebab, pikiran atau persepsi seseorang akan mudah berubah dan dipengaruhi oleh ketakutan. Irfan Amalee, dalam bukunya Islam Itu Ramah Bukan Marah (2017), menjelaskan bagaimana kecenderungan umat saat ini yang begitu mudah diprovokasi konten-konten yang menyebarkan ketakutan. Menurutnya, ini dikarenakan banyak orang yang justru menonjolkan bagian otak reptilia ketimbang bagian otak neo-cortex. Otak reptilia—yang juga dimiliki binatang melata sebagai instrumen penyelamat dari kondisi bahaya, adalah otak yang mirip alarm, bekerja dengan mode fight or flight. Jika bahaya datang, otak reptilia langsung memerintahkan kita untuk “berkelahi” atau “lari”.

Bagian otak inilah yang belakangan dikedepankan banyak orang, sehingga ketika dihadapkan pada konten-konten yang menyebarkan provokasi dan ketakutan, yang muncul adalah ekspresi dan sikap frontal berupa hujatan dan kebencian, bahkan tindakan destrukttif dan anarkis yang memicu pertikaian secara luas. Padahal, lanjut Irfan, manusia sebagai “umat yang berpikir” dikaruniai bagian otak lain yang disebut neo-cortex. Bagian otak ini yang bertugas mengolah informasi sebelum memerintahkan anggota badan merespon. Bagian otak neo-cortex inilah yang membuat kita berbeda dengan makhluk lain, sebagai makhluk yang memiliki akal.

Kebhinekaan

Uraian di atas semakin membuka mata kita tentang keadaan masyarakat di era media sosial saat ini. Di mana orang-orang mulai melupakan etika, gemar menyerang kehormatan orang lain, kemudian menciptakan pertikaian yang sarat aksi saling menghujat dan membenci. Keadaan tersebut diperparah dengan penyebaran konten-konten provokatif dan berita-berita palsu yang terus memancing kemarahan dan pertikaian antar sesama saudara kita sendiri.

Keadaan tersebut tentu bukan kondisi yang ideal di tengah kebhinekaan dan kemajemukan bangsa Indonesia. Hidup di sebuah bangsa majemuk, di mana masyarakatnya terdiri dari pelbagai macam latar belakang, yang dibutuhkan adalah sikap saling menghargai, toleran, dan tenggang rasa yang tinggi pada sesama. Ketika mendapati sebuah informasi sensitif dan berpotensi menciptakan pertikaian, sudah semestinya kita bisa mengendalikan diri dari amarah dan emosi, sehingga tak memunculkan sikap dan tindakan yang merusak persaudaraan.

Akhirnya, sudah saatnya kita sama-sama membangun kesadaran untuk lebih cerdas dan lebih kritis dalam mencerna setiap informasi, dengan terus merawat nalar sehat, memperluas pengetahuan, memperbanyak pengalaman, juga terus memupuk etika kehidupan demi harmoni dan perdamaian bersama. Wallahu a’lam..

Facebook Comments