Sejak munculnya ISIS pada tahun 2014 hingga 2018, sekitar 600 foreign terroris fighter (FTF) atau kombatan teroris asing (KTA) Indonesia telah berada di Suriah (Barret, 2017). Di luar yang sudah berdomisili, jumlah FTF Indonesia yang terbang ke Suriah di rentang tahun tersebut diperkirakan mencapai 1.605 orang, sedangkan jumlah mereka yang kembali ke Indonesia pada periode yang sama adalah 344 orang.
Permasalahan FTF ini rumit dari hulu ke hilir. Bayangkan saja, instrumen media sosial di tahun 2014 belum semutakhir saat ini. Tetapi jumlah ketertarikan masyarakat kita untuk berangkat ke sana sangatlah tinggi. Angka keberangkatan FTF itu menyiratkan betapa rentannya masyarakat kita dimanipulasi untuk menggapai mimpi-mimpi ideologis yang kosong.
Kekalahan ISIS juga bukan solusi atas kasus FTF ini. Mereka yang kembali pulang ke Indonesia dapat menjadi sumber radikalisasi baru. Mereka berpotensi menyebakan ideologi ekstrem berbasis pengalaman pertempuran, ditambah keterampilan untuk membuat atau menggunakan senjata. Semua aspek ini berasal dari pengalaman mereka saat berperang dengan ISIS di Suriah. Dengan alasan tersebut, mereka yang kembali dapat membentuk kelompok teroris baru, mempengaruhi orang lain untuk berkonsolidasi, dan melakukan tindakan teror di masa depan.
Mereka yang kembali dan bertobat juga tak kalah problematik. Mereka rentan menghadapi stigmatisasi negatif dari masyarakat yang dapat menghambat proses reintegrasi. Dampak dari stigma negatif ini adalah mereka yang pulang dari ISIS merasa terisolasi, yang dapat mendorong mereka untuk melakukan tindakan teror lainnya (Mohammed, 2020).
Penggulingan Bashar Al-Assad dan Potensi FTF
Peristiwa pemberontakan terjadi di Suriah pada Minggu (8/12/2024) dipimpin kelompok bernama Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dipimpin oleh Abu Mohammed Al Jolani. Pemberontakan ini sukses menggulingkan Presiden Bashar Al-Assad yang dianggap sebagai diktator dan memiliki kekuasaan absolut tanpa persetujuan rakyat Suriah.
Rezim Assad jatuh 11 hari setelah pemberontak memulai serangan mendadak, lebih dari 13 tahun setelah tindakan keras Assad terhadap demo anti-pemerintah memicu perang saudara Suriah. Pasukan pemberontak menguasai 12 ibu kota provinsi, termasuk Damaskus. Hanya ada dua ibu kota provinsi yang masih berada di tangan pemerintah, yakni Latakia dan Tartus.
Bagi warga Suriah, penggulingan Assad dimaknai sebagai era baru Suriah pasca terbebas dari rezim otoriter dan tirani. Kabar buruknya, kelompok radikal teroris di Indonesia mengaburkan turbulensi politik Suriah sebagai kemenagan umat Muslim di bumi Syam. Citra ini tak lepas dari reputasi HTS sebagai metamorfosis dari Jabhat Nusra yang pernah berbaiat kepada Al-Qaeda (The Conversation, 2024).
Kelompok yang berpaham serupa di Indonesia mengesankan kudeta HTS sebagai titik balik perjuangan umat Islam di Suriah, sehingga siapapun umat Islam yang merasa berjuang untuk Suriah boleh datang dan menjadi bagian dari tanah Suriah.
Propaganda ini sebetulnya mengandaikan dua skenario. Pertama, perjuangan melawan tirani ala HTS bisa saja direplikasi di Indonesia. Mengingat narasi perjuangannya mirip, yatu kesejahteraan umat (khilafah), melawan rezim tirani, dan lepas dari pemerintahan sekuler. Aktivisme ini pernah muncul pasca Taliban berhasil mengakuisisi Afghanistan pada 2021. Tersebar di media sosial narasi semacam,
“Jika mereka bisa melakukannya di sana, mengapa kita tidak bisa di sini?”
Namun demikian, skenario di atas tampak jauh panggang dari api berkat kuatnya Islam moderat di Indonesia dari intitusi hingga ke akar rumput. Pemahaman Islam Nusantara menjadi imunitas bangsa dari upaya delegitimasi nilai-nilai kebangsaan yang mengarah pada upaya penggantian sistem.
Skenario pertama mungkin sulit dibayangkan terjadi. Tetapi ada skenario kedua yang lebih “realistis” bisa terjadi, yaitu migrasi warga Indonesia ke Suriah dalam rangka “hijrah” seperti yang dibincang di awal tulisan ini. Penekanan pada identitas agama dalam konflik internasional (terutama yang terkait dengan Suriah) dapat mempercepat proses radikalisasi, terutama di kalangan kelompok yang merasa terpinggirkan.
Individu yang merasa terpinggirkan, baik secara sosial maupun ekonomi, bisa dengan mudah dipengaruhi oleh ideologi ekstrem yang menekankan pada perjuangan agama untuk membebaskan umat Islam dari ketidakadilan. Kelompok teroris sering kali menawarkan narasi yang menghubungkan perjuangan mereka dengan cita-cita “keadilan” yang dijanjikan dalam agama, sehingga mereka berhasil menarik individu yang merasa teralienasi dari sistem sosial yang ada.
Dalam hal ini, identitas agama dijadikan sebagai cara untuk menjelaskan ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat, misalnya ketimpangan ekonomi, ketidaksetaraan dalam hak politik, atau perasaan keterasingan di tengah perubahan sosial yang cepat. Narasi ini relevan dengan perjuangan HTS di Suriah sehingga menjadi celah sekaligus potensi kebangkitan FTF lewat ‘glorifikasi’ isu-isu Timur Tengah.
Sejak awal, konflik Suriah dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemerintahan Bashar al-Assad, yang didukung oleh kekuatan luar seperti Rusia dan Iran. Dalam konteks ini, agama bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong para aktor terlibat, melainkan juga faktor politik, ekonomi, dan strategi regional.
Lihat saja, meskipun masih dalam konflik internal yang sengit, HTS mulai mempertimbangkan pentingnya hubungan strategis dengan negara-negara besar dan kekuatan regional, termasuk Israel, untuk kepentingan stabilitas nasional dan pemulihan ekonomi (Tribunnews, 2024). Oleh karena itu, konflik di Suriah, meskipun melibatkan beberapa kelompok dengan agenda keagamaan, sebenarnya jauh lebih dipengaruhi oleh pertarungan kekuasaan politik, ekonomi, dan pengaruh internasional.
Merawat Kedaulatan Tanah Air adalah Jihad Kita
Bagi masyarakat Suriah, kemenangan HTS atas Assad bisa jadi meningkatkan legitimasi mereka di antara pendukungnya. Tetapi di mata jejaring ekstremis, hal ini membuka peluang konstruksi narasi yang jauh lebih berbahaya, yakni bahwa mereka adalah ‘penerus sah’ perjuangan umat Islam sebagaimana yang dinubuatkan. Jika itu terjadi, maka Suriah akan dipersepsi persis Afghanistan di tahun 1980-an, sebagai markas mujahidin global.
Banyak FTF alumni Afghanistan ini bertebaran di Indonesia utamanya pasca Reformasi. Sebut saja Ali Imron, Imam Samudra, Hambali, dan Muklas yang menjadi pelaku aksi teror besar Bom Bali 2002. Mereka adalah produk FTF yang ‘meneruskan’ perjuangan Afghanistan di Indonesia karena salah kaprah memahami isu geo-politik global.
Banyak narasi yang digunakan untuk menarik simpati masyarakat Indonesia untuk berangkat ke medan Timur Tengah. Narasi yang menonjol adalah ‘hijrah’, ‘masuk dalam sistem khilafah’, ‘persatuan Muslim’, dan ‘keluar dari rezim sekuler’. Tetapi, setelah tiba di sana, mereka mengetahui situasi sebenarnya yang sama sekali berbeda dari apa yang telah dicitrakan.
Turbulensi politik Suriah bukanlah isu perjuangan Islam atas tanah Syam, melainkan perjuangan warga negara Suriah untuk lepas dari tirani rezim Bashar Al-Assad. Kesadaran ini harus terpatri di benak masyarakat kita sebagai dasar untuk membaca peta politik global.
Rasulullah mengajarkan umatnya untuk mencintai tanah air, bukan formalisasi ajaran agama secara ekstrem. Ini adalah kontekstualisasi jihad yang bisa diimplementasikan oleh umat Muslim di Nusantara.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Zad al-Ma’ad membagi jihad menjadi empat kategori. Pertama, jihad al-nafs (jihad dalam memperbaiki diri). Kedua, jihad al-syaithan (jihad melawan syaithan). Ketiga, jihad al-kuffar wa al-munaffiqin (jihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik). Keempat, jihad al-babi al-zulmi wa al-bida’ wa al-munkarat (jihad melawan orang-orang zalim, ahli bid’ah, dan para pelaku kemungkaran). Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjabarkan empat pembagian jihad ini ke dalam tiga belas tingkatan jihad (maratibu al-jihad).
Artinya, pemahaman jihad tidak kaku. Jihad tidak selalu berurusan dengan pedang, darah, dan orang kafir. Dalam tingkatan Ibn Qayyim, terlihat bahwa jihad perang merupakan salah satu bagian saja dari jihad. Kalaupun harus berperang, perang yang dilakukan umat Islam merupakan perang yang sifatnya defensif. Ini terlihat dari etika perang yang bisa dijumpai dalam beberapa Hadis Nabi SAW dan ayat Al-Qur’an.
Gejolak politik Suriah biarlah menjadi urusan internal dalam negeri warga Suriah. Tidak ada kaitannya dengan islamic brotherhood, tegaknya ‘khilafah’, dan semacamnya. Kita hanya mendoakan semoga masyarakat Suriah benar-benar terbebas dari rezim yang otoritarian. Semoga HTS juga dapat mewujudkan pemerintahan Suriah yang lebih manusiawi dan berorientasi kepada kesejahteraan hidup warga Suriah tanpa memandang latar belakang agama.
Indonesia bukanlah negara konflik. Indonesia adalah negara damai. Maka jihad yang harus dilakukan adalah mempertahankan kedamaian tersebut. Indonesia adalah rumah kita. Rumah itu adalah medan juang kita saat ini dengan menjaganya agar tetap aman, damai, dan berdaulat.