Globalisasi dan digitalisasi membuahkan dampak merebaknya ideologi transnasional di negeri ini. Dari berbagai ideologi transnasional yang muncul dinegeri ini, ideologi berbasis Islamisme adalah yang ‘laku di pasaran’.
Islamisme sendiri merupakan landasan dari gerakan keislaman yang lebih berorientasi pada aspek ideologis-politis, daripada aspek spiritual-teologis. Australian Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) pernah mengungkapkan, ada beberapa contoh gerakan Islamis transnasional.
Ikhwanul Muslimin adalah salah satunya. Gerakan ini muncul di Mesir pasca kolonialisme Inggris.
Di Indonesia, Ikhwanul Muslimin termanifestasi dalam Gerakan Tarbiyah, yang berawal dari gerakan dakwah hingga bertransformasi menjadi aksi-aksi politik. Di kemudian hari, gerakan ini menjelma menjadi Partai Politik. Karakteristik gerakan ini tanpa kekerasan, memiliki basis massa dan tak mengharamkan peejuangan di jalur politik-parlemen.
Gerakan Islamis Transnasional lainnya adalah Hizbut Tahrir, yang dibentuk oleh ulama Palestina, Taqiyuddin an Nabhani.
Di Indonesia, gerakan ini menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang memperjuangkan terbentuknya sistem pemerintahan Islam berskala global bernama Khilafah Islamiyah. HTI dibubarkan Pemerintah Indonesia pada 2017. Gerakan ini juga karakteristiknya tanpa kekerasan dan memiliki basis massa, namun tak mau masuk jalur politik formal atau parlemen.
Salafi, adalah gerakan transnasional Islamis lainnya. Berbasis ideologi yang dirumuskan oleh Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan menjelma menjadi gerakan revolusioner di tangan Muhammad Ibn Abd Wahhab (1701-1793 M).
Gerakan ini secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama, adalah Salafi-Hijazi yang menginduk kepada doktrin Wahabi dan pendapat para ulama pro Kerajaan Arab Saudi seperti Bin Baz dan Nashirudin al-Albani.
Mereka fokus pada pemurnian tauhid dan ibadah, seperti menolak ‘syirik’ dan ‘bid’ah’ menurut versi mereka. Kaum salafi jenis ini cenderung apolitis dan pro pemerintah, namun sangat keras soal penafsiran teks kitab suci.
Kedua, adalah Salafi-Jihadi. Embrio gerakan ini merupakan bentuk ‘perkawinan’ aktivisme Ikhwanul Muslimin dengan puritanisme Salafi-Wahabi. Salafi-Jihadi lahir di medan Perang Afghanistan selama tahun 1980-an.
Para tokoh dan aktivis gerakan ini mulai menyebar ke seluruh dunia setelah berakhirnya Perang Afghanistan, hingga memunculkan gerakan-gerakan teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS.
Di Asia Tenggara dan Indonesia, dua gerakan teroris ini menjelma dalam gerakan Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Anshorut Syariah (JAS), hingga Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok-kelompok inilah yang kerap melancarkan aksi terorisme di Indonesia sejak tahun 2000-an.
Di Indonesia, penetrasi ideologi islamisme transnasional mulai masif di era Reformasi. Keterbukaan dan kebebasan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok Islamis transnasional untuk mengembangkan ideologi mereka.
Menangkal Islamisme Transnasional
Berdasarkan realitas itu, Indonesia memiliki tantangan besar dari tiga jenis gerakan Islamis transnasional. Tantangan itu adalah merasuknya ideologi Islamis yang tak selaras dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam ranah politik dan sosial-budaya, merebaknya aksi-aksi kekerasan dan terorisme, serta menjalarnya paham Islam puritan dan konservatif yang anti budaya nusantara.
Menjawab tantangan tersebut, bangsa ini bisa menangkalnya dengan cara membangun moderasi beragama. Paradigma keagamaan yang moderat, terdiri dari berbagai indikator seperti kebangsaan, kebhinekaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi atau budaya.
Penguatan moderasi beragama sangat relevan karena sangat bertentangan dengan paradigma seluruh varian gerakan Islamis Transnasional. Moderasi beragama, merupakan fondasi dari masyarakat yang mempunyai norma-norma baik dalam membangun, memaknai, dan menjalani kehidupannya.
Dalam sejarah, masyarakat seperti itu dinamakan masyarakat madani. Cicero, seorang orator Yunani kuno, adalah orang pertama yang menggunakan istilah masyarakat madani atau civil society pada 106-43 SM. Dia mendefinisikan civil society sebagai masyarakat yang memahami kota bukan hanya sebagai konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Istilah masyarakat madani juga terkait erat dengan konsep negara Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M.
Masyarakat negara Madinah dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, membuahkan Piagam Madinah, sebuah dokumen penting yang mengatur tentang hak-hak sipil (civil rights), termasuk kebebasan beragama dan beribadah.
Maka, bisa dikatakan masyarakat madani yang berlandaskan paradigma keagamaan moderat, memiliki beberapa karakteristik dasar, yakni pluralisme atau penerimaan akan kebhinekaan, toleransi, kesetaraan, dan demokrasi.
Adalah tugas kita bersama, mengembangkan moderasi beragama, serta membangun masyarakat madani. Sebab itu semua adalah ‘penawar’ dari ‘racun’ yang bernama gerakan Islamisme transnasional.