Di negeri ini, sekat antara pribumi dan non-pribumi masih begitu tebal. Rasanya sulit diurai secara cair. Padahal sudah puluhan tahun negara besar ini merdeka secara fisik. Namun hampir setiap saat, potensi gesekan antar sesama warga negara terus mengancam. Termasuk hanya gara-gara si A keturunan WNI asli dan si B keturunan non-WNI. Kendatipun saudara-saudara kita keturunan non-WNI itu telah puluhan tahun menetap dan mencari nafkah di bumi pertiwi ini, potensi keretakan itu terus saja ada.
Melihat situasi ini, apalagi akhir-akhir ini tampaknya jurang itu kian menganga seiring panasnya situasi politik baik regional maupun nasional, maka sayang sekali jika persaudaraan yang sudah lama terjalin itu memudar. Untuk itu, ada baiknya kita semua belajar pada Muhammad Rasulullah Saw ketika menyatukan warga negara Madinah melalui perjanjian bersama yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam ini mampu menyatukan pendatang, pribumi, termasuk juga yang berbeda agama. Di Indonesia ada Pancasila yang menjadi acuan persatuan.
Tentunya tidak cukup sampai di situ, upaya pemersaudaraan antara pribumi Madinah dan pendatang dari Makkah atau daerah lain juga dilakukan oleh Muhammad. Dalam konteks warga-bangsa Indonesia yang beragam, kiranya konsep pemersaudaraan atau al-muakhkhah/al-ikha’ ini penting dilirik sebagai upaya untuk menghilangkan sekat antara pribumi dan pendatang, sehingga tidak ada lagi perasaan sebagai tamu seumur hidup bagi warga pendatang. Juga, tidak ada lagi syakwa sangka dari warga pribumi atas saudaranya.
Dalam konteks Madinah, para pendatang dari Makkah, Habasyah atau daerah lainnya, ibarat tamu. Melihat situasi psikologis dan sosial pendatang yang perlu diberi kenyamanan, Muhammad dengan kecerdasan dan visinya yang maju melakukan terobosan yang mengagumkan dengan mempersaudarakan pendatang dan pribumi. Inilah yang dikenal dengan konsep al-muakhkhah/al-ikha’ (pemersaudaraan). Seperti dikutip Akram Dhiyauddin Umari dalam Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi (h. 78), al-Baladzuri menyebutnya sebagai rabithah al-muakhkhah (ikatan persaudaraan). Tidak jarang, pekerjaan atau usaha pribumi dibagi secara suka rela pada pendatang. Rumahnya juga disinggahi bersama. Ini makna sejati ayat: “Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara” (Qs. al-Hujurat [49]: 10).
Konsekuensi sebagai saudara, mereka wajib saling membantu dan tolong-menolong. Ibarat tubuh yang satu, kata Muhammad Saw, mereka laksana satu tubuh yang saling merasakan sakit jika ada satu anggota badan yang terkena sakit. Mereka juga ibarat bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Tidak boleh yang satu melemahkan yang lainnya, karena sifat bangungan itu antar unsurnya saling menguatkan dan mengokohkan. Kenyamanan inilah yang mereka harapkan, tidak hidup dikejar-kejar ketakutan karena intimidasi pihak musuh.
Orang-orang Anshar, sesuai sebutannya, benar-benar menjadi penolong bagi saudara barunya. Mereka melakukan pengorbanan secara serius dan total. Kesusahan saudara barunya benar-benar dicarikan solusinya. Apa saja yang mereka punya, tanpa ragu-ragu mereka berikan. Pengorbanan mereka yang mengagumkan dan tanpa harapan imbalan apapun selain pahala dari Allah Swt inilah yang direkam dan dilukiskan dengan indah oleh al-Qur’an. Allah Swt berfirman:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Qs. al-Hasyr [59]: 9.
Banyak kisah mengharukan terkait keikhlasan kaum Anshar ini. Misalnya, seperti diceritakan Imam al-Bukhari, suatu ketika seseorang mendatangi Muhammad Saw dalam kondisi lapar. Karena isteri-isterinya tidak memiliki apapun kecuali air, maka beliau bertanya: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?”
“Saya,” jawab seorang Anshar, yang lantas membawa lelaki tadi ke rumah istrinya. “Muliakanlah tamu Rasulullah,” pintanya pada isterinya.
“Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak,” jawab isterinya.
“Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!”
Suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Lalu mereka tidur dalam keadaan lapar. Ketika keesokan harinya lelaki ini sowan pada Rasulullah, beliau berkata: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua. Ia lalu menurunkan ayat-Nya: Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung/Qs. al-Hasyr [59]: 9”.
Itulah ketulusan yang mengagumkan dari kaum Anshar, pribumi Madinah. Menurut informasi, yang dipersaudarakan oleh Muhammad Saw tak kurang dari 90 orang. Bahkan ada yang menyebutnya 100 orang. Misalnya, Salman al-Farisi dengan Abu Darda, Abdurrahman bin Auf dengan Saad bin Rabi’, Muawiyah bin Abi Sufyan dengan al-Hattat at-Tamimi, Abu bakar Ash-Shidiq dengan Kharizah bin Zaid bin Abu Zuhair al-Ansari, Umar bin al-Khaththab dengan Utbah bin Malik al-Anshari, Ja’far bin Abu Thalib dengan Mu’adz bin Jabal Al-Anshari dan banyak lagi.
Lalu, apa kiranya pelajaran yang bisa dipetik dari konsep persaudaraan di atas? Pertama, pentingnya sosok kuat yang berperan untuk mempersatukan keragaman dan mampu mempersempit jurang perbedaan. Memang benar, persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw di Madinah itu terjadi antara kaum muslim dengan muslim dan tidak dengan selainnya. Namun di negeri ini, antara kaum muslim yang satu dengan yang lain seakan tidak bersaudara dan tidak saling mengenal, hanya karena perbedaan cara pandang keagamaan. Dampaknya, perjuangan menegakkan negeri untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga bangsa juga berlainan jalurnya. Sosok pemersatu menjadi penting kiranya. Tidak mudah, kendati juga tidak mustahil. Presiden dibantu kaki tangannya tentu saja yang paling mungkin menjalankan hal ini.
Kedua, kembali pada ikatan persaudaraan yang dibangun atas kesepakatan bersama. Perbedaan-perbedaan memang sudah terjadi sejak awal mula kemerdekaan bangsa ini. Misalnya terkait penetapan dasar negara yang akan menjadi landasan hidup bersama. Disepakati, Pancasila menjadi jalan tengah terbaik antara kubu yang berseberangan. Semua warga negara dari unsur apapun, semestinya benar-benar kembali pada ikatan bersama ini secara kaffah dan terlarang mengambil jalan masing-masing yang justru berpotensi memecah-belah persatuan.
Ketiga, perlunya kesadaran maksimal untuk hidup bersama secara berdampingan. Keragaman yang ada selaiknya menjadi kekayaan, bukan menjadi alasan perpecahan. Kita memang berbeda, namun kita satu bangsa, satu nusa dan satu bahasa. Kesamaan ini yang semestinya dibesar-besarkan sebagai ikatan kekeluargaan. Kita juga punya visi yang sama untuk keadilan dan kesejahteraan bersama, karena negara ini diwariskan melalui cucuran darah untuk semua warganya.
Untuk itu, persaudaraan antar berbagai perbedaan wajib dijaga ketat supaya tidak tercabik. Potensi menjadi negara besar yang dimiliki oleh negeri ini tidak boleh porak-poranda tersebab hilangnya persaudaraan dan persatuan. Tidak penting lagi sekat pribumi dan non-pribumi, karena yang terpenting adalah kesamaan visi membangun Indonesia yang gemah ripah loh jinawi atau berkemakmuran.