Peace Education: Benteng Awal Meredam Konflik Sejak Dini

Peace Education: Benteng Awal Meredam Konflik Sejak Dini

- in Narasi
4122
0

Peace education dapat diartikan sebagai model pendidikan yang mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu mengatasi konflik atau masalahnya sendiri dengan cara kreatif dan tanpa kekerasan. Peace education mengajarkan rasa saling menghargai, mencintai, Fairness, dan keadilan. Pendidikan perdamaian (peace education) didasarkan pada filosofi anti kekerasan, cinta, perasaan saling menyakini, percaya, keadilan, kerja sama, saling menghargai dan menghormati sesama makhluk hidup di dunia.

Peace education mengedepankan keserasian tiga pilar penting dalam implementasinya, yaitu anak, orang tua dan pendidik. Ketiga pilar ini merupakan pelaku aktif dalam proses penanaman nilai-nilai dan ilmu pengetahuan. Anak sebagai seorang siswa dan generasi muda yang akan meneruskan keberlangsungan bangsa diharapkan nantinya berperan pada sosialisasi nilai-nilai budaya damai dan anti kekerasan kepada rekan sebayanya. Sedangkan orang tua berperan sebagai mitra guru untuk mendorong, mendukung dan mengembangkan aktualisasi atau pelaksanaan budaya damai tanpa kekerasan.

Program pendidikan perdamaian yang disalurkan dengan resolusi konflik dan pemahaman multikultural termasuik suatu kegiatan yang didasarkan pada kemampuan individu dalam berpendapat, mencoba memahami dan mengerti orang lain dan hal-hal yang mendasari pemikiran mereka ana bermanfaat sebagai alat yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah, misalnya rasisme, diskriminasi atau mengganggu orang lain.

Pendidikan perdamaian juga merupakan salah satu upaya pembelajaran yang bisa memberikan kontribusi dan mampu menciptakan warga negara yang lebih baik di dunia ini, khususnya di Indonesia. Proses transformasi keduanya adalah dengan cara menanamkan filosofi yang mendukung dan mengajar tanpa kekerasan, yang juga berarti menjaga lingkungan dan kehidupannya sendiri sebagai manusia. Pendidikan perdamaian memberikan alternatif dengan menajarkan kepada siswa bagaimana kekerasan bisa terjadi dan menginformasikan pengetahuan kepada anak didik tentang isu-isu kritis dari pendidikan perdamaian yaitu menjaga perdamaian, meciptakan perdamaian dan membangun perdamaian.

Salah satu tokoh yang ikut mempromosikan peace education adalah John Dewey. Pada tahun-tahun sesudah perang, ketertarikan Dewey pada peace educaton terlihat ketika dia menilah bahwa peace education harus dilandasi kepercayaan moralitas, nilai-nilai demokrasi dan etika religius. Dorongan dasar filsafat untuk peace education setelah 1918 adalam memformulasikan metode intelegensi; suatu metode yang tidak diskriminatif seperti halnya melawan adanya propaganda. Di sini, lembaga perlu menghilangkan adanya peperangan lewat perogram peace education; merekonstruksi kebiasaan sosial dan politik yang ada.

Dewey yakin, bahwa lembaga pendidikan bisa berfungsi sebagai dasar untuk perubaham yang dinamis. Mengarahkan kepada sesuatu yang benar, sekolah bisa menjadi dinamis, bukan lembaga refleksif. Sebagai instrumen reformasi, lembaga pendidikan bisa mencari dan memperkuat pola konkret untuk membuat pola kehidupan masyarakat diatas perdamaian, sementara pada saat yang sama lembaga pendidikan memungkinkan membuat setiap anak didik menyadari potensinya didunia untuk membangun kehidupan tanpa kekerasan.

Di Indonesia sendiri, peace education belum diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan, baik tingkat SD, SMP maupun SMA, sementara untuk di bangku kuliah sendiri tidak semua kampus mengajarkan pendidikan perdamaian. Artinya, bahwa indonesia sangat perlu menerapkan pendidikan perdamaian sejak dini, dengan dasar dan filosofis yang sudah diuraikan diatas. Bila tidak dari sekarang, maka kekerasan-kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan seperti tawuran antar siswa dan antar mahasiswa akan terus terjadi.

Pemerintah dalam hal ini, harus kembali memikirkan ulang untuk menciptakan formula yang tepat dalam meramu kurikulum untuk pendidikan perdamaian dan anti kekerasan dimasa yang akan datang, selanjutnya juga untuk mendukung program tersebut harus diadakan diklat, seminar, workshop untuk para tenaga pengajar yang nantinya akan mengajarkan pendidikan perdamaian di sekolah-sekolah. Selama ini kita sudah mengetahui bahwa pendidikan yang diajarkan disekolah hanyalah sebatas pelajaran menghargai oranglain, tenggang rasa dan saling menghargai yang terangkum dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasilan dan Kewargaan Negara (PPKN), namun itu saja tidak cukup untuk kondisi bangsa saat ini.

Bila melihat banyaknya kasus kekerasan di negeri ini, seperti aksi teror yang akhir-akhir ini sangat mengancam keutuhan NKRI, kekerasan mayoritas kepada kelompok minoritas dan kekerasan lainnya yang dapat merugikan masyarakat dan bangsa ini, urgensi untuk menerapkan dan mengimplementasikan pendidikan perdamaian sangat harus, dan itu harus dimulai dari tingkatan SD, SMP, SMA dan bangku perkuliahan.

Facebook Comments