Pendidikan Agama: Urgensi Dan Kontekstualisasi Di Indonesia

Pendidikan Agama: Urgensi Dan Kontekstualisasi Di Indonesia

- in Narasi
1564
0
Pendidikan Agama: Urgensi Dan Kontekstualisasi Di Indonesia

Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Segalanya. Agama menjadi satu-satunya sarana agar manusia mengakui, menghamba, menjalani kehidupan secara baik dan mendekatkan diri kepada-Nya. Allah SWT sesungguhnya tidak membutuhkan agama, tapi manusialah yang membutuhkannya.

Agama sebagai dogma holistik dan kompregensif tentu meneropong seluruh sendi kehidupan manusia. Tidak ada yang luput dari perhatiannya. Namun demikian ada ruang kemanusiaan yang dibuka guna menyingkap lebih luas dan dalam pada setiap sendi tersebut, khususnya urusan duniawi. Dalam hal ini butuh upaya transformatif guna menyebarkan dan mendalami ajaran agama tersebut. Disinilah pendidikan agama memiliki urgensi yang strategis. Sebagaimana Allah SWT tidak butuh agama, maka agama pun sejatinya tidak butuh pendidikan. Kembali kita sendiri yang membutuhkan eksistensi dan kontribusi pendidikan agama.

Urgensi

Hari-hari ini muncul polemik di publik terkait tidak munculnya frase “agama” dalam draft Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Indonesia memang bukan negara agama, tapi mengakui agama dalam posisi sentral. Masyarakatnya pun dikenal religius. Isu ini pun cepat menggelinding dan sontak menuai kritik banyak kalangan. Lepas dari penjelasan Kemendikbud bahwa draft tersebut masih pra konsep, penting bagi kita untuk kembali merenungkan urgensi pendidikan agama dan mengkontekstualkan dengan ke-Indonesia-an.

Albert Einstein, seorang ilmuwan Yahudi pernah mengatakan “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh” Ada dua entri point disini pertama tentang pentingnya agama untuk melambari ilmu pengetahuan dan yang kedua perlunya ilmu dalam pengamalan agama. Pemahaman hingga ajaran demikian tentunya ada di semua agama.

Agama memang rawan tersusupi ajaran radikalisme melalui pendidikan. Namun hal itu harus dipahami sebagai oknum dan persentasenya sangat kecil. Antisipasi terhadapnya penting, namun tentu tidak dengan membabi buta melenyapkan payung pendidikan agamanya. Upaya mengantisipasi tikus tentu bukan dengan membakar gudangnya. Semua agama sendiri bahkan sejatinya terdepan di setiap ajarannya dalam memerangi radikalisme.

Agama yang notabene mayoritas “impor” juga dikhawatirkan meminggirkan budaya nusantara. Bukti untuk ini sangat lemah, faktanya budaya nusantara terus eksis dan harmonis dalam heteroginitas agama. Islam misalnya tidak menafikan adanya nilai luhur warisan nenek moyang. Tidak pula menutup rapat pada budaya modern. Menyikapi keragaman budaya, Islam bersikap adil. Ia tidak eksklusif total dan ia juga tidak inklusif secara berlebihan.

Salah satu cara pembelajar­an nilai melalui pendidikan agama ialah dengan mengembangkan kemampuan berpikir kritis (Sapdi, 2018). Kemampuan ini diyakini dapat membekali peserta didik dalam menimbang nilai secara lebih tepat dan bijak. Kemampuan ini juga dapat mengasah anak dalam memecahkan masalah yang tengah diha­dapinya. Kritis bukan berarti mengkritisi ajaran agama yang kebenarannya pasti. Melainkan, memahami realitas sosial dan berupaya memperbaikinya agar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan dalam agama.

Kontekstualisasi

Guna meyakinkan kekhawatiran di atas, pendidikan agama selain mengajarkan sisi fundamental juga aspek kontekstual ke-Indonesia-an. Perjalanan bangsa memberikan teladan bahwa peradaban nusantara terbangun melalui salah satunya akulturasi budaya dan agama. Dinamika bangsa juga dominan oleh kontribusi keagamaan.

Langgulung (2018) menyatakan persoalan pendidikan Islam ibarat ujung tungkul atas gunung es yang mengambang dan bersentuh­an langsung dengan udara bebas. Pada wilayah seperti itu, norma dan nilai agama langsung bersentuhan realitas sosial yang di dalamnya sarat pertentangan nilai. Untuk itu, pendidikan Islam seyogianya membekali peserta didik dengan keterampilan memecahkan masalah.

Akhlak dan karakter memiliki nilai strategis dalam mendidik manusia Indonesia. Kemajuan bangsa tidak aka nada artinya tanpa moralitas. Inilah pembeda kita dengan negara lain. Namun akhlak dan karakter belumlah cukup, butuh pegangan fundamental yang menggerakkannya. Itulah peran agama, dimana akhlak dan karakter menjadi bagian di dalamnya.

Kontekstualisasi pendidikan agama mesti menyentuh seluruh aspek kehidupan berbangsa, baik sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lainnya. Proses internalisasi di setiap aspek dapat dilakukan langsung melalui bidang pendidikan terkait maupun menjadi bagian dalam pendidikan agama. Semua jalur pendidikan juga penting mengakomodasi eksistensi pendidikan agama, baik jalur formal, informal maupun non formal.

Pendidikan agama menjadi pondasi bagi aktualisasi pendidikan lainnya. Kontekstualisasi tentu didahului oleh penguatan fundamental keagamaan. Hal ini tentu diserahkan ke masing-masing agama melalui koordinasi dan arahan dari pihak terkait, seperti Kementerian Agama, ormas keagamaan, serta lembaga keagamaan (MUI, PGI, KGI, Walubi, PHDI, dan lainnya).

Facebook Comments