Setiap tanggal 2 Mei kita memeringati Hari Pendidikan Nasional (Hadiknas). Hardiknas diperingati setiap tahun dan selalu mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan sebagai bekal membangun bangsa. Lewat pendidikan, diharapkan terlahir generasi-generasi cerdas, terampil, sekaligus berakhalak mulia untuk membawa bangsa ini pada kehidupan yang maju, damai, dan bermartabat. Berbicara pendidikan, salah satu isu yang patut mendapat perhatian serius adalah terkait perkembangan paham radikal-terorisme.
Paham yang merusak ikatan persaudaraan kemanusiaan dan kebinekaan bangsa ini begitu berbahaya. Bahkan bisa mengancam tegaknya bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, paham ini menghasilkan orang-orang berpikir ekstrem, memaksakan pemahaman dan kehendaknya, bahkan dengan cara-cara kekerasan dan teror yang menciptakan keresahan dan mengancam keharmonisan bangsa. Di sinilah, pendidikan harus mampu menangkal perkembangan paham radikal-terorisme. Dalam arti, proses pendidikan yang diterima generasi muda harus bisa membentengi mereka dari pengaruh negatif paham-paham radikal-terorisme.
Bicara pendidikan tentu tak terbatas pada pendidikan di sekolah. Sebab pada dasarnya pendidikan bisa berlangsung di mana saja, kapan saja, dan bisa didapatkan siapa saja. Begitu pula upaya menangkal paham radikal-terorisme, bisa diupayakan siapa saja sesuai peran masing-masing. Kita tak bisa hanya bergantung pada pemerintah lewat pelbagai progam penanggulangan terorisme. Semua mesti terlibat. Dengan kata lain, upaya menangkal paham radikal-terorisme harus diupayakan seluruh masyarakat secara semesta.
Menangkal paham radikalisme-terorisme secara semesta membawa kita pada bentang pembahasan yang teramat luas. Namun, kita bisa mencari sudut pembahasan tertentu. Di sini, penulis memilih untuk mengulas upaya penangkalan paham radikal melalui unit-unit sosial yang ada, yakni meliputi lingkungan rumah atau keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Di rumah atau lingkungan keluarga, pendidikan anti-radikalisme atau upaya menangkal bahaya paham radikal mesti ditanamkan pada anak sejak dini. Keluarga menjadi tempat strategis untuk menanamkan dasar-dasar pemikiran yang damai, toleran, dan ramah pada anak. Sebab, keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang akan sangat memengaruhi terbentuknya watak, mental, dan karakter anak. Di sini, orang tua memegang peranan penting sebagai pemegang otoritas di lingkungan keluarga.
Kita tahu salah satu faktor kunci penyebab pemikiran radikal, terutama radikal keagamaan adalah pemahaman agama yang sempit, kaku sebatas tekstual yang akhirnya mendorong orang melakukan sikap-sikap intoleran, kekerasan, bahkan teror kepada orang lain yang berbeda. Di sinilah, orang tua mesti berupaya bagaimana menanamkan pemahaman agama yang damai pada anak-anaknya, baik lewat didikan agama yang diberikan orang tua secara langsung maupun lewat ustaz, guru mengaji, dan sebagainya. Artinya, orang tua harus sebisa mungkin memastikan pengetahuan agama yang didapat anak-anaknya adalah pengetahuan agama yang mendalam, penuh hikmah dan rahmat pada sesama, dari kiai, ustaz, atau guru yang benar-benar sudah diakui keilmuannya.
Selanjutnya, di sekolah, guru memiliki tanggung jawab yang sama pentingnya dengan orang tua di rumah. Baik melalui pembelajaran di kelas, terutama pelajaran agama, maupun melalui pelbagai bentuk interaksinya di lingkungan sekolah, guru diharapkan bisa menanamkan pemahaman agama yang damai dan toleran pada anak didiknya. Pelbagai survei tentang ditemukannya oknum guru Pendidikan Agama Islam yang mengajarkan paham radikal pada anak didik di sekolah merupakan catatan penting yang harus menjadi pelajaran bagi semua pihak di dunia pendidikan.
Di samping orang tua, guru menempati posisi strategis dalam membentuk pemahaman dan watak anak lewat interaksinya yang cukup panjang dan intens di lingkungan sekolah. Artinya, di samping memberi pemahaman dan pengetahuan keagamaan pada anak didik, guru juga diharapkan bisa menjadi mitra bagi orang tua yang bisa turut memperkuat dan mengasah sikap-sikap toleran anak dalam beragama. Dengan demikian, pengetahuan, pemahaman, dan watak anak tentang beragama secara damai dan toleran benar-benar terbentuk secara kokoh karena didukung sinergi didikan dari orang tua di rumah dan guru di sekolah.
Di lingkungan masyarakat, upaya menangkal paham radikal-terorisme bisa dimulai dari bagaimana menciptakan suasana yang guyup dan rukun di lingkungan masing-masing. Lingkungan sosial yang harmonis, terbiasa gotong-royong, saling membantu, bermusyawarah atau rembukan, dan satu sama lain merasa terikat adalah modal penting yang harus dibangun dan dilestarikan suatu komunitas masyarakat. Sebab, masyarakat yang hidup dan tumbuh di lingkungan yang demikian cenderung punya pemahaman yang mendalam tentang filosofi hidup berdampingan dengan sesama meski dalam perbedaan sehingga tak gampang terpengaruh paham-paham dari luar yang mengajarkan kekerasan hanya karena perbedaan.
Masyarakat yang punya tradisi, budaya, dan sistem yang kuat tentang bagaimana hidup berdampingan dan saling menghargai cenderung mudah mengendus gejala-gejala masuknya paham radikal di lingkungan mereka, sehingga bisa segera diatasi dan dampak yang ditimbulkan bisa diminimalisir. Akhirnya, mencegah berkembangnya paham radikal-terorisme secara semesta akan membawa kita pada diskusi panjang. Namun, lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan lingkaran-lingkaran sosial yang menjadi kunci dalam membangun pemahaman agama yang damai dan merawat nilai-nilai toleransi demi keharmonisan dan kedamaian hidup bersama.