Pesantren dan Pengarusutamaan Moderasi Islam

Pesantren dan Pengarusutamaan Moderasi Islam

- in Narasi
2049
0

Kiprah pesantren di era millenial seperti saat ini semakin besar dan signifikan, terutama untuk menekan paham-paham atau gerakan radikalisme yang kerap ‘memperkosa’ atau mempelintirkan ayat-ayat Alquran demi kepentingan mereka sendiri.

Pesantren sudah saatnya go public, menyuarakan, bahkan merebut narasi-narasi keagamaan paham komunis dan ekstrimis di dunia maya. Tidak hanya sekedar merebut, melainkan juga harus aktif mengisi beranda-beranda media sosial generasi millenial dengan konten yang positif, damai, menyejukkan dan mencerahkan (Baidlowi, 2019: 32).

Pesantren, meskipun tidak terlibat persis, bisa dikaitkan dengan dakwah Walisongo di zaman dahulu. Harun Asrohah dalam Sejarah Pendidikan Islam (1999: 183), menjelaskan bahwa tidak sedikit wali-wali di Jawa menguasai jaringan perdagangan antara pulau Jawa dengan pulau luar Jawa, sebut saja Sunan Giri yang memiliki jaringan perdagangan antara Jawa dengan Kalimantan, Maluku, Lombok dan lainnya.

Apa yang ingin penulis tegaskan dari fenomena wali-wali yang menguasasi jaringan perdagangan di atas adalah, bahwa dakwah tidak melulu persoalan berbicara di atas mimbar dan di majelis-majelis yang melibatkan banyak umat, namun juga harus merambah aspek lain seperti perdagangan. Di konteks saat ini, da’i atau dalam konteks ini pesantren (para kyai dan santri) harus merebut dunia digital, kuasai agar narasi dan informasi keagamaan di dunia maya dapat sehat, damai dan menyejukkan. Tentu dengan prinsip moderasi Islam. Inilah yang kemudian disebut sebagai dakwah virtual.

Pilar Peradaban Pesantren: Keilmuan

Harus diakui bahwa pesantren sejak awal berdiri hingga saat ini posisinya sebagai salah satu pusat studi Islam yang otoritatif dan efektif tidak bisa digeser, yang ada justru semakin kuat posisinya.

Basis keilmuan pesantren yang utama adalah kitab kuning sehingga pemikiran ulama yang tertuang dalam kitab tersebut bisa digali, dipahami, dan diamalkan serta dilestarikan secara kontinyu dari generasi ke generasi (Muallifa, 2016: 55). Budaya thalabul ilmi di pesantren menjadi bukti bahwa pilar peradaban pesantren adalah keilmuan.

Memang, pada masa awal, pesantren lebih banyak mengkaji ilmu-ilmu agama saja (pesantren salaf). Namun kini seiring berjalannya waktu, muncul pesantren modern yang memadukan ilmu agama dan ilmu pengetahuan mutakhir. Ilmu-ilmu yang sesungguhnya bagian integral dalam ilmu agama tersebut diajarkan di pondok modern untuk memperkaya dan memperluas cakrawala berpikir serta menjawab tantangan zaman di era saat ini.

Maka, tak ayal jika umat sangat menaruh harapan kepada dunia pesantren. Besarnya harapan peradaban dari rahim pesantren sebenarnya tidak berlebihan, terlebih sistem yang diterapkan di pesantren sangat komprehensif karena memadukan aspek pendidikan, baik kognitif, afektif, dan psikomotorik ( Jajang: 2003, 26).

Tradisi kesederhanaan, kemandirian, etos belajar, sikap tasamuh, tawazun, dan tawassuth juga berhasil dilahirkan dai rahim pesantren sehingga kehidupam masyarakat muslim nusantara memiliki karakter kuat; menjunjung tinggi perdamaian, sikap moderasi, dan toleransi. Nilai-nilai dan sikap tersebut kemudian melembaga sebagai ciri khas masyarakat muslim nusantara (Mu’ammar, 2014).

Salah satu nilai atau sikap dalam ajaran Islam yang mendesak untuk selalu dikampanayekan dan dikuatkan, terutama di kalangan generasi millenial adalah moderasi/moderatisme. Yaitu posisi tengah, tidak fanatik/berlebihan dalam berpikir dan bertindak. Sebuah ajaran yang menitikberatkan sebuah keseimbangan, tidak ekstrim, juga tidak lembek.

Dengan moderatisme, umat Islam akan hidup dengan damai dan menjadi polopor sebuah tatanan yang mengedepankan persaudaraan, inklusifisme, toleransi, dan perdamaian (Sumarto dan Emmi Kholilah, 2019: 21). Sebagai wujud mengokohkan dan menguatkan peran pesantren dalam menangkal paham radikal, terutama yang sudah menyusup ke generasi millenial, perlu adanya internalisasi moderasi beragama yang diinisiasi oleh pesantren.

Pertama,internalisasi moderasi agama dalam kurikulum pesantren. Sebelum pesantren, terutama alumni atau santrinya melakukan kinerja profetik (da’wah), maka terlebih dahulu mereka digembleng dengan kurikulum yang memasukkan moderasi agama. Langkah ini tentu saja dimaksudkan sebagai penguatan basic keagamaan.

Kedua,memakmsimalkan dan menguatkan media dakwah pesantren. Memang belum banyak pesantren yang secara all out mengelola website, media sosial dan channel youtube. Kondisi ini tentu saja menjadi kesempatan bagi kelompok radikal untuk mengisi kekosongan ini sehingga banyak generasi millenial gampang terpapar paham radikal.

Oleh sebab itu, perlu upaya yang serius dari pengelola pesantren untuk mengaktifkan kanal-kanal media online untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi agama. Sehingga, generasi millenial mempunyai sumber informasi yang beragam dan otoritatif. Puncaknya, mereka tidak lagi gampang terpapar paham radikal.

Ketiga, perlu sinergi penguatan jaringan media online santri. Setelah media-media pesantren, baik offline maupun online diaktifkan, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengumpulkan media-media santri ini agar menjadi kekuatan besar yang menyuarakan narasi keagamaan yang sama, yakni moderasi.

Dengan sinergitas antar pengelola media santri untuk menyuarakan narasi pentingnya moderasi agama, maka langit-langit media online akan dijejaki oleh konten-konten yang positif dan bermanfaat. Sementara para saat yang sama, narasi atau progaganda kelompok radikal akan tengggelam, bahkan tidak laku dimata masyarakat luas.

Menyuarakan dan menguatkan narasi moderasi agama di semua lini kehidupan, terutama di media sosial, sejatinya adalah tangungjawab pesantren sebagai salah satu jalan dakwah virtual, bahkan di saat sekarang ini bisa dikatakan sebagai sebuah jihad yang menuntut untuk terus digaungkan dan dilakukan. Dengan demikian, nilai-nilai moderasi beragama akan sampai pada seluruh elemen masyarakat Indonesia sehingga Indonesia akan menjadi zona hijau dari penyebaran virus radikalisme.

Facebook Comments