Apa yang menjadi trend konon adalah suatu hal yang sudah salah-kaprah. Seandainya hal itu adalah hal-hal yang dipandang religius sekali pun sudah pasti pada kenyataannya sudah mengalami perendahan-perendahan, tak lagi seluhur pada sebermulanya. Kisah kekejaman Stalin di Uni Soviet, Taliban di Aganistan, dan IS di Suriah, adalah beberapa tamsil atas karakteristik dari apa yang kita kenal sebagai trend itu.
Pada kasus trend jelas-jelas ukuran yang berlaku adalah ukuran yang semena-mena, tak berdasar dan tak obyektif, dimana oleh Tom Nichols dikatakan bahwa di situ para ahli telah dibantai. Dalam sejarah agama konon manifestasi agama yang paling murni adalah ketika agama berada di tangan para pendirinya dan beberapa generasi sesudahnya, yang dalam dalil agama, agama-agama itu akan mengalami perpecahan di dalam tubuhnya sendiri. Bukankah sama sekali tak ada, atau setidaknya tak ada yang menisbahkan, fenomena radikalisme dan terorisme pada para pendiri agama dan beberapa generasi sesudahnya?
Trend adalah terang suatu fenomena yang dalam dunia akdemik dikenal sebagai “populisme.” Apa-apa yang menjadi trend adalah apa-apa yang populistik. Dan populisme sudah dengan sendirinya adalah sebuah trend. Taruhlah fenomena jilbabisasi yang mulai marak menjelang 2014 yang bahkan sampai 2019 seolah menjadi kekuatan politik baru. Perjalanan agama di situ, ketika orang mau menyeksamainya, sama sekali konyol dan tak mendasar. Apalagi ketika tafsir atasnya ditautkan dengan hal-hal yang sama sekali tak ada hubungannya: kemapanan ekonomi, kebagusan adab, kenaikan derajat, dan celakanya juga kecerdasan seseorang.
Salah satu karakteristik dari populisme adalah memang kurangnya nalar dan, ketika ditautkan pada agama, aspek dzauq pada perjalanannya. Dalam hal ini agama seolah hanyalah persoalan hukum belaka dimana, ketika ditautkan pada manusia, sekedar menyentuh wilayah tubuh belaka. Maka lumrah pada populisme kita menyaksikan gejala literalisme yang dominan, dimana literalisme itu adalah karakteristik utama daripada radikalisme.
Populisme tentu ibarat sebilah pisau yang hanya memiliki nilai ketika digunakan oleh para penggunanya. Dalam studi filsafat sejarah kita mengenal yang namanya anakronisme dimana melihat sejarah masa lalu dengan perspektif masa kini adalah hal yang tak nyambung. Barangkali, populisme itu akan tepat ketika hidup di masa kolonial yang memang membutuhkan daya resistensi yang tinggi. Namun, populisme itu akan pula kurang tepat ketika orang sudah hidup di alam pascakolonial.
Alam pascakolonial, secara sederhana, adalah alam dimana imperialisme dan kolonialisme tak berlangsung seperti di era para pendiri bangsa. Di alam ini kondisi tak lagi berlangsung sebagaimana di era pra-kolonial maupun di era kolonial. Bukankah istilah “kafir” akan dapat menjadi kasus hukum tersendiri di masa kini ketika dikenakan pada orang-orang yang tak seiman dan tak sebangsa sebagaimana yang terjadi pada kasus-kasus radikalisme dan terorisme?
Oleh karena itulah orang-orang yang cenderung radikal dalam beragama adalah orang-orang yang telat zaman, orang-orang yang barangkali hanya akan beroleh kesempatan di zaman kolonial dengan segala predikat yang mengiringinya. Di masa sekarang keadaan dan tatanan global memang seolah menghendaki populisme untuk lagi mengecambah. Bukan karena nyaris tak ada orang yang tak bersentuhan dengan teknologi digital atau aktivits-aktivitas yang berkaitan dengannya, namun ilmu dan keterampilan hidup di alam digital memang tak popular ketika popularitas itu dapat diukur dengan prinsip bahwa expertise atau keahlian adalah milik semua orang.
Dengan demikian, secara otomatis moderasi beragama yang memang menjadi tuntutan zaman secara pelahan namun pasti akan mengikis populisme, yang dalam konteks tulisan ini, berjalin-kelindan dengan kolonialisme dan radikalisme.