Problem Kebangsaan dan Radikalisme Agama

Problem Kebangsaan dan Radikalisme Agama

- in Narasi
821
0
Problem Kebangsaan dan Radikalisme Agama

Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern.

Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini. Tidak seperti di negara-negara Eropa Barat di mana kesadaran nasional berakar, tumbuh, dan berkembang dari perlawanan terhadap kekuasaan feodal dan negara absolut, gelombang nasionalisme di Asia, Afrika, dan negara-negara Muslim di Semenanjung Arab, Timur Tengah, lahir justru dari perlawanan terhadap kolonialisme Eropa.

Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan.

Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus. Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknyacivil societymodern dalam masyarakat.

Baca Juga :Membekap Ideologi, Menyingkap Kerangka Nalar

Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah “laskar” atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor-faktor tersebut di atas: krisis kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi.

Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai “Indonesia” lebih dominan dibangun oleh perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom “identias nasional” tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.

Pola penyeragaman demikian itu, khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, telah mengebiri dan memandulkan proses kreativitas dan emansipasi kesadaran masyarakat. Lalu, ketika keran kebebasan dan demokratisasi terbuka lebar, tuntutan akan pemberdayaan dan partisipasi politik rakyat makin membesar, dan seiring dengan itu muncul pula gerakan penegasan identitas komunal masyarakat, seperti etnisitas, budaya lokal, dan terutama gerakan fundamentalisme agama.

Dalam perspektif historis, radikalisme agama di Tanah Air adalah warisan dari ketidakmampuan sebagian kelompok Islam menegosiasikan dogma dan doktrin keagamaannya dengan realitas sosial dan kebutuhan masyarakat tentang pentingnya wawasan kebangsaan sebagai entitas yang menjamin pluralisme. Antagonisme politik dan ideologis antara Islam dan negara ini, dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elite politik terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.

Di sini tampak jelas bahwa sebagian kalangan Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam dan kebangsaan, dan menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara dalam kehidupan politik. Selain itu, akibat dari pemahaman keagamaan yang simbolistik ini, nilai-nilai universal demokrasi, seperti: kebebasan, kesetaraan, pluralisme, dan hak asasi manusia belum dipahami sebagai bagianinherendari pesan-pesan profetis agama. Sebagaimana hal ini ditunjukkan secara tegas dari upaya mereka menuntut formalisasi syariah dalam hukum dan perundang-undangan negara.

Demikianlah, sesungguhnya banyak faktor dan penyebab yang memungkinkan suburnya gerakan radikalisme agama di Tanah Air. Pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis, dan miskinnya kesadaran sejarah dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perkembangan global.

Di sisi lain, ketidakpuasan terhadap kebijakan politik negara-bangsa modern yang dominatif dan manipulatif, berikut krisis yang diakibatkannya, telah menjadi tempat persemaian paling strategis bagi gerakan ini. Akhirnya, dengan memahami kompleksitas masalah yang melatarbelakanginya, kita sangat berharap gerakan radikalisme agama dapat diatasi secara tegas dan komprehensif tanpa mengorbankan proses demokratisasi yang kini tengah berlangsung di depan mata

Facebook Comments