Relasi Islam-Kristen dan Peluang Dialog Non-Formal di Indonesia

Relasi Islam-Kristen dan Peluang Dialog Non-Formal di Indonesia

- in Narasi
33
0
Relasi Islam-Kristen dan Peluang Dialog Non-Formal di Indonesia

Di Indonesia, agama-agama hidup dalam tatanan sosial yang bersifat majemuk. Meski demikian, orang-orang beragama dapat saja menjadi musuh bagi sesamanya, bahkan orang yang paling dicintai sekalipun. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kecenderungan masyarakat yang sibuk mengurusi urusan doktrin agamanya saja, sehingga urusan-urusan itu menjadi alat paling ampuh untuk melunturkan toleransi antar umat beragama. Fenomena ini bisa disebut eksklusifitas beragama. Hal itu melahirkan fanatisme keagamaan dan stereotipe antar agama.

Dua agama besar di Indonesia yang sudah “tidak akur” sejak awal kedatangannya adalah Islam dan Kristen. Jika dilacak sejarahnya, Islam dan Kristen sama-sama mempunyai alasan yang terlihat masuk akal untuk saling mencurigai. Sikap ini terus dipupuk, sehingga menghasilkan ledakan berupa konflik keagamaan.

Misalnya, konflik antara Islam dan Kristen di Tolikara pada tahun 2015 yang menyebabkan pembakaran kios, rumah, masjid, dan bangunan lain di sekitar lokasi konflik. Lebih jauh lagi, konflik di Ambon pada tahun 1999, di mana terjadi penyerbuan dan pembantaian terhadap umat islam di daerah Ambon khususnya dan Maluku Umumnya. Lalu ada konflik di Singkil Aceh pada tahun 2015 yang diawali dengan serangkaian demonstrasi yang dilakukan oleh sebagian umat Islam yang menuntut pemerintah membongkar sejumlah gereja milik umat Kristen.

Pertanyaannya, ‘bagaimana realitas sosial ini diatasi? Apa yang dapat dilakukan untuk menghindari sikap permusuhan dan menciptakan relasi yang lebih konstruktif dan harmonis?’ Jawabannya adalah dialog.

Dialog merupakan agenda yang harusnya disadari perlu dilakukan oleh umat-umat beragama. Satu hal prinsipil yang harus dipunyai untuk menumbuhkan kesadaran ini adalah keterbukaan. Keterbukaan ini bukan hanya sikap yang sekedar ‘silakan, asal jangan mengusik saya’, namun juga yang lebih fundamental ‘saya terbuka untuk mempelajari dan memahami kalian yang sangat berbeda dari kami’.

Namun sayangnya, dalam berdialog, banyak orang yang menganggap bahwa merekalah yang paling benar, baik dari apa yang mereka kemukakan maupun dalam apa yang mereka pertahankan. Seperti contohnya orang-orang yang fanatik agama. Mereka sering secara fanatik mempertahankan kebenaran yang dianut. Mereka betul-betul bersikap monolog dengan menganggap bahwa agama merekalah satu-satunya kebenaran dan seolah-olah apa yang mereka imani tidak mungkin dipertemukan dengan kebenaran dari kepercayaan orang lain.

Dialog bukan berarti orang mengkhianati imannya dengan mengakui iman partner dialognya. Pun, dialog tidak dilakukan dalam rangka mempertobatkan partner dialog. Ini adalah pandangan yang salah kaprah mengenai dialog. Sebaliknya, dialog mengaktifkan kesadaran bahwa setiap orang berhak meyakini kebenarannya menurut versinya masing-masing. Dalam perspektif mereka, kita juga berhak meyakini, apa yang menurut kita benar. Dalam hal ini, dialog bukan merupakan ajang adu doktrin, melainkan saling memberi pengetahuan.

Dalam setiap pertemuan antar agama, persoalan mengenai ‘kebenaran’ ini memang menjadi isu yang sering kali membuat pintu dialog tertutup. Sebenarnya, dalam pertemuan antar agama, persoalan ‘kebenaran’ merupakan topik yang selalu disinggung secara serius. Kebenaran bahkan menjadi semacam subjek utama dalam pertemuan tersebut. Masalahnya adalah apakah yang dimaksud oleh umat beragama tentang ‘kebenaran’ itu? Apakah jika kita mempersoalkan ‘kebenaran’ itu artinya bahwa kita mempersoalkan hubungan antara Allah dan manusia? Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang kebenaran, tidak bisa tidak, kita mesti berbicara mengenai Wahyu atau penyataan Allah.

Hal ini menunjukkan bahwa manusia bukanlah pihak yang memproduksi ‘kebenaran’. Kebenaran datang dari luar diri manusia. Dalam bahasa lain, manusia manusia tidak dapat menemukan kebenaran tanpa pertolongan dan campur tangan Allah. Oleh karena dialog hanya melibatkan manusia dengan manusia, maka urusan ‘langit’ (transenden) harusnya dipinggirkan terlebih dahulu.

Salah satu cara untuk mengakali untuk tidak melibatkan urusan teologis itu adalah dengan dialog secara non-formal. Jika umat Islam dan Kristen yang bertemu di sebuah forum kemudian saling berdiskusi merupakan bentuk dialog formal. Maka dialog non-formal terwujud dalam interaksi antara umat Islam-Kristen dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, kita bisa mengajak diskusi saudara kita yang Kristen untuk membahas isu-isu lingkungan, pembangun, ataupun politik. Kita bisa menggali bagaimana perspektif Kristen tentang konsep lingkungan hidup, dan apa nilai-nilai positif yang bisa diambil untuk mengatasi isu-isu lingkungan. Atau bagaimana Islam dan Kristen mampu berkolaborasi dalam menciptakan kebijakan-kebijakan publik yang bermanfaat buat masyarakat, nah kalau yang ini dalam konteks politik tentunya. Mudahnya, kita saling mengambil nilai-nilai yang baik dari masing-masing agama untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, tanpa mengulik urusan-urusan doktrinal.

Berkaitan dengan dialog antar agama, Alwi Shihab, Menteri Luar Negeri Indonesia era Gus Dur, mengatakan bahwa tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar keagamaan, umat beragama yang berdialog harus mempunyai kemauan yang baik untuk saling mendengarkan. Jika tidak siap dan tidak mau berjumpa dengan iman lain dengan sikap pengertian dan penghargaan, hambatan untuk mencapai titik temu tidak akan terlampaui, bahkan bisa bertambah buruk. Namun itu nampaknya terjadi di tataran dialog formal saja. Dalam dialog non-formal, kita fokus pada nilai-nilai yang dekat dengan kehidupan sehari-hari saja.

Indonesia sebagai bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan dilihat oleh dunia internasional sebagai negara yang mampu menciptakan dan memelihara hubungan antar agama yang baik, sehingga sering kali dijadikan sebagai teladan dalam hal kerukunan antar agama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menampilkan kehidupan beragama yang harmonis. Dengan demikian, dialog antar agama menjadi krusial dalam hal mengatasi tensi antar agama di Indonesia. Dalam hal ini, ada dua hal positif yang bisa masyarakat Indonesia dapatkan, pengakuan internasional yang positif dan kehidupan antar agama yang harmonis.

Facebook Comments