Setelah 13 tahun bertahan menghadapi milisi pemberontak, rezim Bashar al Assad akhirnya tumbang. Hanya butuh 12 hari bagi pasukan Hayat Tahrir al Sham untuk merebut kota-kota yang menjadi benteng terakhir kekuasaan Assad, yakni Aleppo, Hom, dan Damaskus. Rezim Assad berakhir; kelompok oposisi bersorak, musuh luar negeri Assad mengintai dari kejauhan, sementara kaum ekstremis menganggap ini adalah awal dari kebangkitan Islam seperti dijanjikan dalam kitab suci dan hadist Nabi.
Sejak revolusi Suriah dibajak oleh kaum ekstremis, terutama pasca munculnya ISIS, perang Suriah selalu dinarasikan sebagai jihad menegakkan daulah atau khilafah Islam. ISIS kala itu berhasil membangun branding sebagai kelompok penyelamat dan pahlawan yang akan menjadi pembebas bagi seluruh umat Islam di dunia dari kekuasaan yang zalim.
Bukan tanpa kebetulan, ISIS memilih bendera warna hitam dengan tulisan kalimat syahadat berwarna putih. Bendera hitam itu sengaja dipilih agar sama dengan riwayat yang menyebutkan bahwa di akhir zaman, akan muncul pasukan dengan panji hitam yang menjadi penanda datangnya Imam Mahdi. Jika pasukan itu tiba, umat Islam diperintahkan untuk mengikutinya agar selamat dari fitnah akhir zaman.
Tidak hanya itu, ISIS juga pernah mengklaim pemimpin mereka, Abu Bakar al Baghdadi sebagai Imam Mahdi yang akan menyelamatkan umat Islam di akhir zaman. Strategi branding ISIS itu terbilang sukses mempengaruhi umat Islam. Terbukti, banyak umat Islam dari seluruh penjuru dunia berbondong-bondong hijrah ke Suriah, dengan harapan bertemu Imam Mahdi dan bergabung dengan pasukan panji hitam.
Kebangkrutan ISIS, Kebangkitan HTS
Apa lacur, imajinasi itu hancur manakala ISIS mengalami kekalahan di tahun 2017. Pemimpin mereka, Al Baghdadi pun tumbang diterjang peluru. Imajinasi tentang Imam Mahdi dan kebangkitan Islam di akhir zaman luruh seketika. Kini, ketika milisi Hayat Tahrir al Sham yang sebenarnya satu tipe dengan ISIS berhasil memenangkan perang di Suriah, narasi tentang mahdiisme itu pun kembali mencuat.
HTS digadang-gadang menjadi semacam penerus ISIS yang memperjuangkan berdirinya negara atau kekhalifahan Islam di Suriah. HTS juga digadang menjadi pasukan penyelamat umat manusia dari fitnah dan peperangan akhir zaman. HTS diyakini oleh kalangan Islam konservatif akan mengembalikan dunia Islam ke era khalifah al rasyidah, yakni sistem pemerintahan seperti diterapkan di zaman khulafaurrasyidun.
Konsep Imam Mahdi yang selalu didengungkan kalangan konservatif di tengah konflik Suriah cenderung absurd alias tidak masuk akal. Konsep mahdiisme kalangan konservatif itu tidak lebih dari sebuah imajinasi semu yang tidak memiliki referensi teologis yang valid. Di dalam Islam, memang ada keyakinan bahwa di akhir zaman Allah akan menurunkan Imam Mahdi yang memimpin pasukan dengan panji hitam. Imam Mahdi ini akan muncul dari wilayah Khurasan, Iran.
Dari Imam Mahdi Palsu ke Utopia Khilafah
Riwayat tentang Imam Mahdi itu muncul dalam sejumlah hadis shahih. Hanya saja, tidak ada penjelasan yang sahih ihwal siapa sebenarnya Imam Mahdi tersebut, darimana asal-usulnya, dan kapan ia muncul. Ketiadaan penjelasan yang memadai ini memunculkan banyak klaim-klaim yang meragukan. Di tahun 1980an misalnya di Arab Saudi muncul tokoh yang mengaku Imam Mahdi, bernama Muhammad bin Abdullah al Qahtani.
Ia berniat merebut kekuasaan dari pemerintah Arab Saudi dan menguasai Tanah Suci dengan mengaku diri sebagai Imam Mahdi. Kasus serupa terjadi nyaris sepanjang waktu di banyak tempat. Tidak terkecuali dalam konteks revolusi Suriah yang juga diwarnai oleh kemunculan Imam Mahdi palsu. Mahdiisme semu ini ironisnya mampu menarik simpati dan dukungan dari sebagian umat Islam dunia.
Belakangan, ketika rezim Assad berhasil ditumbangkan oleh pemberontak, muncul imajinasi tentang berdirinya Khilafah al Rasyidah. Yakni sistem pemerintahan yang diterapkan di masa khulafaurrasyidun. Dalam catatan sejarah, sistem pemerintahan khilafah al rasyidah ini hanya bertahan selama 30 tahun dari era Abu Bakar, Umar, Usman, sampai terakhir Ali. Setelah itu, dunia Islam beralih ke era monarki (kerajaan).
Era khilafah rasyidah itu mustahil diulang, lantaran para sahabat nabi telah wafat. Empat sahabat itu adalah manusia pilihan yang tidak bisa disetarakan dengan manusia biasa. Maka, gagasan mendirikan khilafah rasyidah itu justru mendegradasi kemuliaan khulafaurrasyidun. Khilafah rasyidah adalah sejarah yang tidak mungkin terulang di masa sekarang. Dengan kata lain, mendirikan khilafah rasyidah di masa sekarang adalah sebuah utopia.
Konsep mahdiisme semu dan utopia khilafah rasyidah itu adalah bagian dari skenario untuk membangun kesan bahwa pemberontakan di Suriah itu berangkat dari misi keislaman, yakni menegakkan khilafah. Padahal, nyatanya tidak demikian. Konflik Suriah murni pemberontakan politik untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah. Maka, umat Islam Indonesia tidak boleh terkecoh untuk kedua kalinya oleh narasi Imam Mahdi palsu dan khilafah rasyidah yang utopis.