Sekolah Damai; Mewujudkan Pendidikan yang Steril dari Intoleransi, Perundungan, dan Kekerasan

Sekolah Damai; Mewujudkan Pendidikan yang Steril dari Intoleransi, Perundungan, dan Kekerasan

- in Narasi
149
0
Sekolah Damai; Mewujudkan Pendidikan yang Steril dari Intoleransi, Perundungan, dan Kekerasan

Di era modern seperti sekarang, kemajuan sebuah bangsa atau negara tidak hanya ditentukan oleh kekayaan sumber daya alamnya saja. Di era kontemporer, kemajuan sebuah bangsa atau negara justru bergantung pada kualitas sumber daya manusia.

Banyak negara yang tidak memiliki kekayaan alam melimpah, justru menjadi negara maju. Sebaliknya, banyak negara yang dikenal kaya sumber daya alam justru mengalami konflik berkepanjangan yang menyebabkan kemunduran. Dua kondisi itu sangat ditentukan oleh kualitas SDM.

Kualitas SDM bukan hal instan yang turun dari langit. Melainkan dibentuk melalui proses panjang. Salah satunya melalui pendidikan. Bisa dikatakan, pendidikan adalah kunci membangun kualitas SDM. Maka, tidak mengherankan jika banyak negara menginvestasikan uang sangat besar di sektor pendidikan. Tidak terkecuali Indonesia.

Pemerintah bahkan mengalokasikan 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Meski demikian, harus diakui jika dunia pendidikan kita masih menghadapi beragam persoalan. Mulai dari problem subtansial seperti kurikulum, persoalan birokrasi seperti ketidakmerataan kualitas guru, maupun problem sosiologis seperti maraknya kasus intoleransi, peruntungan, dan kekerasan di dunia pendidikan kita.

Problem sosiologis, yakni Intoleransi, perundungan, dan kekerasan tidak lain merupakan dosa besar di dunia pendidikan yang sampai saat ini belum terselesaikan sepenuhnya. Dalam konteks inilah, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atawa BNPT menginisiasi gerakan “Sekolah Damai”.

Urgensi Gerakan Sekolah Damai

Gerakan “Sekolah Damai” ini bertujuan untuk mereduksi fenomena intoleransi, perundungan, dan kekerasan di sekolah sekaligus mewujudkan pendidikan yang inklusif bagi seluruh masyarakat.

Sekolah Damai merupakan bagian dari upaya membangun public resilience alias ketahanan masyarakat dalam menghadapi infiltrasi paham intoleran-radikal. Seperti kita tahu, anak-anak dan remaja menjadi salah satu target utama kelompok radikal dalam menyebarkan ideologisnya.

Survei dari Setara Institute pada tahun 2020 lalu menemukan fakta bahwa 56 persen pelajar SMP sampai SMA terindikasi terpapar paham intoleran-radikal. Sebagai sebuah gagasan, Sekolah Damai ini menarik untuk dielaborasi lebih lanjut.

Lantas, bagaimana idealnya gagasan ini dipraktikkan di lapangan? Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa kebijakan atau aturan di lembaga pendidikan itu menjamin terwujudnya kesetaraan hak siswa. Selama ini harus diakui bahwa munculnya intoelransi di lembaga pendidikan kerap dilatari oleh adanya aturan atau kebijakan yang diskriminatif.

Misalnya, aturan yang mewajibkan setiap siswi mengenakan jilbab kerap kali menuai kontroversi dan polemik. Apalagi jika diterapkan di konteks sekolah negeri. Seperti kita lihat, aturan terbang kewajiban memakai jilbab ini kerap juga dipaksakan ke siswa non-muslim. Akhirnya kelompok minoritas lah yang menjadi korban atas kebijakan tersebut.

Ke depan, kita wajib memastikan tidak ada lagi aturan atau kebijakan di lembaga pendidikan, khususnya negeri yang diskriminatif. Lembaga pendidikan idealnya menjadi lembaga inklusif yang menghargai hak individu terlepas dari identitas agama, suku, warna kulit dan sejenisnya.

Mewujudkan Ekosistem Pendidikan Inklusif

Langkah kedua adalah kita wajib memastikan para guru sebagai fasilitator pembelajaran idealnya juga memiliki wawasan kebangsaan sekaligus keagamaan yang moderat. Artinya, para guru harus terlebih dahulu memiliki paradigma toleran sebelum menjadi fasilitator pelajaran di sekolah.

Dalam banyak kasus intoelransi di sekolah, justru kerap bertindak sebagai aktor. Banyaknya guru yang terpapar paham intoleran-radikal mau tidak mau membuat praktik intoelransi terhadap siswa di sekolah kian subur.

Lebih berbahaya lagi, mereka atau para guru itu akan mengajarkan perilaku intoleran ke anak didiknya. Memastikan para guru memiliki wawasan kebangsaan dan keagamaan yang moderat sangat urgen agar sekolah bisa menjadi ekosistem pendidikan yang inklusif.

Langkah ketiga adalah dengan mendesain kurikulum dan metode pembelajaran yang tidak hanya fokus pada sisi akademik (kecerdasan intelektual), namun juga aspek kecerdasan emosional dan sosial.

Harus diakui bahwa corak pendidikan kita selama ini masih cenderung formalistik, bahkan tekstualistik. Siswa lebih banyak menghafal materi pelajaran tanpa diajak berpikir dan menyelami hakikat atau subtansi materi pelajaran tersebut.

Misalnya, ketika belajar tentang Pendidikan ancasila dan Kewarganegaraan (civic education), para peserta didik hanya dijejali dengan teori tentang kerukunan beragama dan berbangsa. Hal itu memang tidak sepenuhnya salah.

Hanya saja, pelajaran tentang toleransi atau kerukunan tidak bisa semata hanya bertumpu pada teori. Toleransi harus dipraktikkan secara langsung melalui pengalaman di lapangan. Maka, ke depan perlu ada revitalisasi kurikulum dan strategi pembelajaran yang memungkinan para siswa mengenal keragaman agama dan suku di Indonesia secara langsung.

Misalnya dengan mengajak siswa berkunjung ke rumah ibadah kaum minoritas. Bisa juga dengan mendorong siswa terlihat dalam gerakan sosial lintas agama agar bisa mengenal komunitas agama lain. Pendekatan sosio-kultural ini penting untuk memberikan pemahaman pada siswa tentang pentingnya toleransi dan anti-kekerasan.

Arkian, di Hari Pendidikan Nasional yang diperingati saban tanggal 2 Mei ini idealnya bisa menjadi momentum untuk membangun kesadaran dan komitmen untuk mewujudkan sekolah damai; sekolah yang mampu menjadi pilar bagi terwujudnya ekosistem pendidikan inklusif. Yakni pendidikan yang menjamin terpenuhinya hak asasi setiap siswa. Juga pendidikan yang steril dari intoleransi, perundungan, dan kekerasan.

Facebook Comments