Teror Global dan Islam Kosmopolitan

Teror Global dan Islam Kosmopolitan

- in Narasi
4825
0

Maraknya aksi teror dan kekerasan di berbagai belahan dunia yang mengatas namakan ‘Islam’ sedikit banyak telah mencoreng Islam sebagai agama. Image sebagai agama teror’ yang disematkan negara-negara Barat, khusus Amerika dan sekutunya kemudian memunculkan sikap fobia terhadap Islam yang demikian akut (Thomas Michel, 2004).

Dalam kondisi demikian, tentu sulit mengembalikan atau bahkan membangun citra Islam yang sejatinya santun dan ramah di hadapan dunia global, khususnya Barat. Islam Indonesia (baca: Nusantara) sebagai manifestasi Islam yang toleran dan mengusung visi rahmatal lil ‘alamin tentu punya tanggung jawab sosial-politik untuk memperbaiki citra tersebut.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, umat Islam Indonesia juga dihadapkan pada tantangan yang lahir akibat globalisasi. Globalisasi telah menyebabkan batas-batas serta identitas kenegaraan dan kebangsaan tergiring pada satu kesatuan wilayah yang mendunia (mondial) dan satu kesatuan ideologis. Keadaan inilah yang kemudian memunculkan paham-paham yang dijadikan acuan baku dalam menilai moralitas kelompok dan bangsa. Semisal Islam Transnasional, Islam Khilafah, dan lain sebagainya yang muncul dan menjadi landasan moral bagi tatanan kehidupan dunia baru.

Namun perlu dicatat bahwa tidak semua isu-isu global itu sejalan dengan kondisi sosio-kultural Indonesia yang beragam. Oleh karena itu diperlukan upaya pemikiran yang kritis dan transformatif. Misalnya, gagasan demokrasi liberal model Barat belum tentu cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia. Atau Islam Fundamentalis model Afganistan atau Suriah, sehingga ketika masuk ke Indonesia harus dikritisi terlebih dahulu sebelum dilakukan transformasi terhadapnya.

Modernitas dan globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang harus di hadapi Islam Nusantara dewasa ini. Salah satu wujud formulasi Islam Nusantara secara kritis-transformatif dalam menjawab tantangan globalisasi tersebut adalah penguatan watak umat muslim nusantara sembari tetap merawat keIndonsiaan. Islam Nusantara pada hakikatnya merupakan manifestasi sebuah pemahaman keislaman yang bergumul, berdialog dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara, dengan melalui proses seleksi, akulturasi dan adaptasi.

Sehingga Islam nusantara tidak hanya terbatas pada sejarah atau lokalitas Islam di tanah Jawa. Lebih dari itu, Islam Nusantara sebagai manhaj atau model beragama yang harus senantiasa diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indonesia dari sabang sampai merauke dan dunia. Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi sekaligus bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Sehingga benih perpecahan yang disebabkan dari perbedaan tafsir jihad, etnis, suku dan kebudayan akan semakin terkikis.

Gagasan demikian secara universal merupakan wujud kosmopolitanisme Islam Nusantara di tengah gempuran arus globalisasi. Makna kosmopolitanisme adalah sikap terbuka terhadap segala hal yang ada di dunia. Karena asal kata cosmos memiliki implikasi pandangan yang luas. Walaupun secara politis terbingkai dengan negara, bangsa, suku, kultur, bahasa, dalam perspektif kosmopolit segala perbedaan itu harus dipersatukan, saling membantu, saling berbagi, dan sebagainya. Itulah kosmopolitanisme Islam ditengah kemajemukan Indonesia.

Dalam spirit inilah, akan lahir sebuah pemahaman baru yang dapat menjadi energi positif bagi bangsa ini untuk perbaikan menuju negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghofuur . Belajar dari kasus pembangunan masyarakat Madinah oleh Nabi Muhammad, kita pun dapat mencontohnya untuk memperbaiki bangsa dan negara ini di masa mendatang. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian segenap elemen bangsa ini.

Spirit kosmopolitanisme yang ditancapkan Nabi SAW di Madinah harus dijadikan modal penting dalam mencipta babak baru kebudayaan dan tradisi di Indonesia. Karena, Indonesia sekarang sedang kehilangan jangkar nilai yang dapat dijadikan sandaran dalam penciptaan kreasi kebudayaan dan peradaban sehingga bangsa Indonesia mampu menapaki jalan pencerahan di masa depan. Dengan demikian, Indonesia diharapkan bisa bersaing dan sejajar dengan negara-negara modern di dunia.

Sebagaimana argumentasi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa, kosmopolitanisme Islam hakikatnya lebih mementingkan pemahaman ma haula al-nass (around the text), dan bukannya berhenti dalam ma fi al-nass (in the text) dalam memahami Islam. Artinya, Islam bukan sebatas teks namun juga berarti konteks, yang secara aplikatif oleh Gus Dur di wujudkan dalam dharriyat al-khamsah (lima hal dasar yang dilindungi agama).

Kelima hal dasar itu adalah: 1) hifz al-din; keselamatan keyakinan setiap agama; 2) hifz al-nafs; keharusan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan anarkis dan teror; 3) hifz al-aqli; pemeliharaan atas kecerdasan akal; 4) hifz al-nasl; keselamatan keluarga dan keturunan; dan 5) hifz al-mal; keselamatan hak milik, properti dan profesi dari kekerasan dan gangguan. Artinya, semakin saleh kaum muslim dalam menjalankan dharriyat al-khamsah, semakin kosmopolit kaum Muslim tersebut, yakni cenderung terbuka, toleran, dan modern.

Akhirnya, menjadi warga muslim Indonesia yang kosmopolit tidak harus melepas jubah keislaman, namun cukup dengan memoles jubah tersebut sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan di masing-masing locus dan tempus seiring perkembangan modernitas dan globalisasi. Hal ini sejalan dengan kaidah al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah (mengaktualisasikan nilai-nilai klasik yang masih relevan sembari mengambil nilai-nilai kontemporer yang membawa kebaikan). Bagaimanapun juga membangun Islam Nusantara sama dengan membangun Indonesia.

Facebook Comments