“Terorisme” Informasi dan Manipulasi Otak

“Terorisme” Informasi dan Manipulasi Otak

- in Narasi
3019
0

Pasca insiden 911, George Bush sangat bernafsu menyerang Afganistan. Namun ia tak bisa melakukannya, karena hanya 30 % masyarakat yang menyetujuinya. Maka Bush bekerja keras mempengaruhi opini publik. Dengan propaganda media, dia menakut nakuti masyarakat akan bahaya terorisme.

Sosok Osama yang bukan siapa-siapa direkayasa menjadi hantu menakutkan yang bisa membahayakan negara sebesar Amerika. Hanya dalam beberapa bulan 70 % masyarakat menyetujui invasi militer ke Afghanistan. Hal serupa terulang saat penyerangan ke Irak. Dengan menebar ketakutan akan bahaya senjata pemusnah massal yang katanya dikembangkan Saddam Husein, Bush mendapat restu dari sekutunya untuk menyelamatkan dunia.

Menakut nakuti adalah cara paling efektif untuk mengubah persepsi dan menggerakkan manusia. Di otak kita ada bagian otak reptilia, yang juga dimiliki oleh binatang melata. Otak inilah yang menjadi alarm yang memberikan peringatan jika ada bahaya. Otak ini bekerja dengan mode fight or flight. Ketika bahaya datang, otak ini langsung memerintahkan kita untuk berkelahi atau lari.

Misalnya, saat kita menerima telepon dari seseorang tak dikenal, memberitahukan bahwa anak kita kecelakaan. Kita langsung panik. Ketika diminta mentransfer uang, tanpa pikir panjang kita melakukannya. Setelah semua tenang, kita baru sadar kita telah diperdaya oleh penipu. Entah berapa orang yang kena tipu modus ini. Para penipu tahu persis bagaimana cara mematikan nalar dan mengaktifkan kerja otak reptilia kita.

Selama ratusan ribuan tahun nenek moyang kita bertahan hidup dengan mengandalkan otak reptilia. Bagi binatang melata otak ini adalah instrumen penyelamat dari bahaya. Bedanya, manusia dikaruniai bagian otak lain yang disebut neo-cortex. Bagian otak ini yang bertugas mengolah informasi sebelum memerintahkan anggota badan merespons. Karena neo-cortex inilah kita disebut “hayawannun natiq,” hewan yang berfikir. Tanpa ini kita tak ada bedanya dengan hewan.

Tetapi sayang, kadang manusia lebih mengedepankan otak reptilia dari pada neo cortex. Lihatlah berbagai kasus kekerasan dan konflik. Konflik di Poso yang berkobar lebih dari 10 tahun, misalnya, dipicu dari perkelahian remaja yang kebetulan beda agama. Kepada komunitas muslim, tersiar kabar orang Kristen akan menyerang. Begitu pula sebaliknya. Dalam situasi panas, neo-cortex tak bekerja. Semua informasi langsung masuk ke otak reptilia. Responsnya adalah fight or flight. Dalam situasi konflik pilihannya biasanya adalah fight, berkelahi.

Modus yang sama juga terjadi dalam perang informasi. Di Barat, masyarakat ditakut-takuti dengan citra Islam yang identik dengan teroris. Di Eropa, mulai ditebar ketakutan bahwa Islam akan menguasai Eropa. Propaganda Islamphobia mematikan akal sehat masyarakat. Maka tak heran politisi picik seperti Wilders pembuat film Fitna di Belanda mendapat dukungan.

Di tubuh umat islam sendiri perpecahan umat makin terasa dengan modus yang sama. Setiap kelompok menyebar informasi tentang bahayanya kelompok lain. Sejumlah kelompok dan pribadi dituduh kafir dan berbahaya. Berita online, sms, broadcast BBM, dan Whats Aap mulai berseliweran memberi peringatan. Hati-hati dnegan kelompok ini. Waspada dengan mazhab itu. Mohon sebarkan!

Sayangnya umat Islam, yang seharusnya menjadi “umat yang berfikir” kadang neo cortexnya lumpuh digantikan otak reptilia yang bekerja. Tanpa pikir panjang, tanpa kroscek, kita pijit tombol share. Fitnah, ghibah, dan informasi tak terverivikasi berseliweran. Maka tak heran jika suasana umat begitu panas di ujung pepecahan. Maka, kehati-hatian menjadi pilihan paling tepat!

Facebook Comments