Tafsir Negara Al-Fādhilah: Adakah Dalam Spirit Pancasila (?)

Tafsir Negara Al-Fādhilah: Adakah Dalam Spirit Pancasila (?)

- in Narasi
3150
0
Tafsir Negara Al-Fādhilah: Adakah Dalam Spirit Pancasila (?)

Memahami pancasila seharusnya dipahami sebagai cita-cita bangsa yang mulia, pancasila adalah visi dan misi dari berdirinya negara Indonesia. Sebagai falsafah negara pancasila harus menjadi acuan baik dalam hal-hal yang menyangkut kebijakan masyarakat secara umum. Pancasila artinya: hakikat, asal, tujuan, nilai, dan subtansi yang melekat ke-di dalam bangsa.

Ketetapan yang ada dalam pancasila jika meminjam Michael Morfit (1981) dalam artikelnya “Pancasila: The Indonesian State Ideology According to The New Order Government”, adalah morality yang disepakati bersama untuk kemaslahatan, kemajuan, dan kepentingan masyarakat. Lima dasar pancasila adalah tujuan itu sendiri menuju negara yang ideal negara yang dicita-citakan para founding fathers. Mengacu atas dasar pancasilah Indonesia sebagai negara al-Fādilah: negara utama dari konsep al-Fārabi yang dimaksud.

Benarkah tafsir atas al-Madinah al-Fādilah ada dalam spirit pancasila itu sendiri? Bagaimana pengaplikasiaannya yang ada di lapangan? Maka disinilah akan memunculkan jawaban yang sedikit lebih teoritis, tepat, akurat, dan bisa meyakinkan masyarakat secara umum dengan kokoh. Sebagai falsafah, sebagai acuan, dan bangunan ideologi negara dengan sistem yang berbeda-beda tentu sulit. Singkatnya, memproklamirkan paradigma al-Madinah al-Fādilah dengan model-model epistemologi yang lain membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Paradigmaal-Madinah al-Fādilah

Berbicara tentang politik Islam, al-Fārabi adalah tokohnya, ia dianggap sebagai salah satu tokoh termasyhur guru kedua (al-mu’allim al-stani), yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang sejarah dengan karyanya `ara ahl al-Mādinah al-Fādilah. Hadirnya kitab yang ditulis oleh al-Fārabi karena kondisi politik yang terjadi di masanya. Seperti konflik perebuatan kekuasaan di era dinasti Abbasiyah dengan Negara Turki dan Persia. Secara fungsional, negara merupakan institusi yang bertujuan mengakomodir kepentingan individu dalam rangka mewujudkan cita-cita kebahagiaan rakyatnya.

Baca Juga : Dilema Identitas, Problematika Keagamaan dan Titik Temu Kebangsaan

Kecamuk politik dimasa itu tidak kunjung usai hingga banyak pertumpahan darah, semua tidak bisa dilepaskan dengan persoalan kekayaan, kekuasaan, popularitas, dan yang lainnya. Ide al-Fārabi penting untuk ditulis sebagai wacana yang bisa melahirkan negara utama. Misalkan ia memberikan pemahaman segar tentang prasyarat menjadi negara yang utama atau ideal, tentang konsep kepemimpinan, bagian-bagian negara, dan tugas dari masyarakat sipil dan pemerintah yang ada di dalamnya.

Tujuan dari sebuah negara yang ideal tidak lain adalah kebahagian “happiness”. Bagaimana menuju ideal, prasyarat, dan tahapan-tahapan yang harus terpenuhi. Negara yang ideal, al-Farabi memaparkan kurang lebih harus memiliki tiga keunggulan, unggul dalam ilmu pengetahuan, unggul dalam ideologi, dan unggul dalam agama. Selain itu, negara ini harus dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana, sosok yang paling ideal adalah filsuf atau seorang nabi. Tentu mengurai beberapa tipe-tipe pemimpin tersebut masih membutuhkan dua belas kriteria lagi. Disinlah kerap terjadi penyelewengan untuk menjadikan kriteria dari calon-calon pemimpin yang diusung oleh beberapa partai di negera kita tercinta. Tidak heran kemudian ada sosok politisi yang, katakanlah, tidak bebas dari korupsi diangkat menjadi pemimpin.

Visi-Misi Adalah Pancasila

Jika negara harus memiliki tujuan—negara ideal atau al-Fādilah—tujuan itu harus bisa dirasakan dengan program-program yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Secara garis besar cita-cita negara Indonesia ada dalam pancasila, lima dasar dan UUD 1945 adalah visi dan misi itu sendiri. Tujuannya sangat mulia jika dapat diimplementasikan oleh pemerintah.

Merumuskan konsep negara Al-Madinah al-Fādilah masyarakatnya harus memiliki visi-misi yang sama untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, kebahagian bersama, bukan atas dasar kepentingan-kepentingan pribadi. Karena kebahagiaan pribadi tidak akan sempurnah jika kebahagiaan kotanya belum terpenuhi, kebahagiaan kotanya tidak akan sempurnah jika kebahagiaan negaranya tidak terpenuhi, begitu seterusnya.

Tujuan mulia itu misalkan termaktub dalam sila pertama, kektuhanan yang maha Esa: menghormati setiap agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia, menjaga toleransi. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab: menghargai perbedaan di tengah masyarakat yang terdiri dari banyak suku, agama, ras dan adat istiadat (RAS). Ketiga, persatuan Indonesia: mengesampingkan opini pribadi dan mengutamakan segala kepentingan negara yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional Indonesia. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Lima sila tersebut adalah tujuan terbentuknya dari negara yang ideal dengan dipimpin oleh pemimpin yang adil dan bijaksana. Wallahua’lam.

Facebook Comments