Baru-baru ini kembali mencuat kasus menghebohkan banyak kalangan dan sangat kental bernuansa intoleransi. Kasus tersebut adalah adanya sekolah negeri yang mewajibkan penggunaan jilbab bagi semua siswi perempuan tanpa terkecuali, di wilayah padang, Sumatera Barat. Komentar yang hadir pun tentunya berwarna-warni, ada yang melihatnya dan merespon dengan menghadirkan friksi, namun ada pula yang mencoba mengafirmasi hal tersebut dari sudut pandang kelokalan dan mengatakan bahwa hal tersebut mestinya dihormati semua pihak dan seterusnya.
Persoalan pengharusan penggunaan jilbab tersebut serta perdebatan yang mengikutinya, jelas menghadirkan tanda tanya bagaimana sejatinya menafsirkan cara berfikir mengenai agama dalam ruang publik bangsa ini, khususnya ketika berhadapan dengan ideologi Pancasila. Sebab bila kejujuran beropini dihadirkan, maka implikasinya adalah hadirnya ruang tafsir masing-masing pihak atas cara pandang posisi Pancasila dan agama hari ini yang nampak memiliki keberagaman.
Menghadirkan keberagaman perspektif posisi agama dan Pancasila yang ada tersebut sekilas mungkin menimbulkan kerisauan tersendiri akan kelanjutan kisah bangsa ini ke depannya. Seolah, pengungkapan perbedaan yang ada dipandang semata sebagai sumber friksi. Namun bila melihatnya dari aspek yang lain, setidaknya bayangan mengenai mitigasi atas risiko intoleransi bisa lebih awal dihadirkan.
Percuma rasanya bila kenaifan memandang realitas terus terjadi, sebab pada gilirannya kasus-kasus yang mencuat menunjukkan wajah-wajah intoleran yang ada namun sengaja disembunyikan. Setidaknya keberanian menghadirkan kejujuran dalam melihat keberagaman cara pandang yang ada terhadap posisi banyak pihak dalam melihat ideologi bangsa dan agama hari ini mengguggah pemikiran kita agar bisa melihat semuanya secara komprehensif dan pada gilirannya bisa bersama-sama berjarak dari pola berfikir intoleran dan diskriminatif.
Setidaknya secara cepat, kita bisa merasakan bahwa kontestasi posisi agama dalam ruang publik, khususnya Pancasila di negara ini hadir dalam 4 perspektif. Perspektif ini kemudian memberikan kesempatan dalam menafsirkan bagaimana kemudian pola berfikir, cara bicara, aksi nyata, dan world view terhadap bangsa ini sendiri. Pemikiran yang pertama adalah penempatan ideologi Pancasila sebagai sebuah pedoman utama hidup berbangsa dan bernegara.
Ketika melihat rekam jejak bangsa ini, kita bisa melihat ada periode orde baru, di mana pemerintah yang berkuasa terlampau kuat dan memaksa tiarap kekuatan-kekuatan identitas yang dimiliki negara ini, misalnya seperti pers hingga agama. Hingga kini beberapa pemikiran yang demikian masih bisa didapati dalam sejumlah jargon-jargon dan ungkapan tertentu.
Yang kedua adalah perspektif di mana Pancasila sebagai panutan, dikarenakan dianggap sudah sesuai dengan ketentuan agama dan anjuran para pemukanya. Pada perspektif ini nampak upaya untuk terus mencoba mencarikan jalan tengah secara moderat antara ideologi Pancasila dan nilai-nilai agama. Belakangan perspektif ini pun tengah ramai berkontestasi dengan perspektif lainnya. Pemerintah bersama beberapa tokoh dan pihak lainnya, nampaknya terus berupaya mengedukasi semua pihak mengenai perspektif ini, sebab realitas multikultural yang ada hari ini jelas tidak mungkin mendapatkan penyeragaman.
Persepektif yang ketiga adalah perspektif yang memandang Pancasila dalam terjemahan yang mengikuti nalar para penafsirnya, termasuk tafsiran agama. Bila pada perspektif sebelumnya rasionalisasi dan legitimasi dari nilai-nilai agama coba dihadirkan guna mengukuhkan ideologi Pancasila, maka pada perspektif ini terlihat upaya untuk menunggangi jalan tengah yang sudah terjalin. Pada gilirannya hal ini kemudian menyeret kembali pada pemahaman agama tertentu.
Umumnya nalar keterjajahan, dikotomi mayoritas vs minoritas, penistaan dan lain sebagainya kerap membayangi gagasan ini guna menyeret pemikiran ke dalam arus pengutamaan mayoritas dan peminggiran minoritas. Tidak jarang melalui retorika yang disampaikan dengan penuh semangat dan seolah logis menjadikan pendengarnya merasa bahwa penting dan mendesak untuk mengikuti gagasan yang disampaikan tersebut.
Pada bagian ini, rasanya sudah terlampau sulit memungkiri bahwa perspektif macam ini kuat menyeret siapa pun ke dalam pusaran intoleransi. Sebab lagi-lagi kenyataan Indonesia sebagai negara multikultural, tidak mungkin disatukan dalam satu identitas agama. Beberapa kali narasi-narasi macam ini dinyatakan secara gamblang baik oleh pemuka agama tertentu maupun politisi pragmatis.
Perspektif yang keempat adalah perspektif yang dinarasikan beberapa pihak mengenai agama sebagai panutan untuk semua hal, termasuk bernegara. Pengutamaan agama pada perspektif ini sangat dominan meminggirkan nalar keberagaman yang ada, bahkan keberagaman yang ada dalam agama itu sendiri. Selain itu, perspektif ini jelas menempatkan negara ini bukan lagi sebagai negara yang komposisi penduduknya majemuk, melainkan sebuah negara agama layaknya beberapa negara di beberapa wilayah timur tengah. Pada perspektif ini perdebatan atau diskusi dan kontestasi dengan perspektif lainnya dianggap sudah selesai, sebab perspektif ini cenderung keras terhadap perspektif lainnya yang berbeda. Beberapa nalar berfikir yang demikian jelas nyata dapat kita lihat dalam pemikiran sejumlah pihak yang mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok ISIS, Jamaah Islamiyah, NII dan lain sebagainya.
Semestinya dari pemunculan keempat perspektif tersebut, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pemahaman bersama. Misalnya mengenai realitas keberagaman merupakan modal kuat yang mesti disadari semua pihak dan tidak dapat diabaikan. Hal selanjutnya lagi adalah semua pihak pun mesti menyadari dan memitigasi bersama kemungkinan perspektif intoleran dan radikal ada di sekeliling kita dan kemungkinannya menghinggapi nalar berfikir kita. Setidaknya untuk bagian yang terakhir itu masing-masing individu dapat melakukan sebentuk internalisasi diri dalam melihat bagaimana pola perspektif yang dipakai selama ini dalam bernegara dan berbangsa.